POLA KAMPUNG DAN RUMAH TINGGAL WARGA DESA MASYARAKAT ADAT SUNDA

download makalah versi lengkap klik di sini
nb. makalah ini hanya untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiologi pedesaan, 
buat teman-teman mahasiswa, tetap semangat belajar!!!
Rumah adat sunda

BAB I
PENDAHULUAN

Kampung adalah kesatuan hidup dari sejumlah keluarga yang bermukim pada suatu batas daerah yang disepakati bersama oleh warga kampung tersebut dengan kampung-kampung lainnya, warga kampung melakukan relasi tatap muka yang erat dan saling mengenal (saling kenal) satu dengan lainnya, bahkan mungkin satu daerah permukiman dari satu keturunan atau keluarga luas (Pribadi, 1978:56). Menurut Koentjaraningrat (1990:245), kampung merupakan kesatuan manusia yang memiliki empat ciri: interaksi antar warganya, adat istiadat, norma-norma hukum dan aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah lakunya. Berdasarkan pendapat Muanas, Pribadi, dan Koentjaraningrat di atas, maka secara tidak langsung terdapat jenis kampung-rumah adat dan non adat. Kampung dan rumah adat warganya masih menjalankan teguh tradisi leluhur secara turun temurun, sedangkan non adat sebaliknya.  
Komunitas warga kampung yang masih menjalankan tradisi leluhur (adat leluhur) di antaranya adalah warga Kasepuhan Ciptarasa dan Ciptagelar yang pola kehidupannya sehari-hari mengikuti secara turun temurun kebiasaan nenek moyangnya. Komunitas warga adat kasepuhan ini hidup dalam kelompok- kelompok kecil, tersebar di berbagai kampung di sekitar Banten, Sukabumi dan Bogor Selatan sepanjang lereng-lereng dan bukit-bukit di sekitar Gunung Halimun serta membentuk suatu ikatan persaudaraan yang mereka namakan Kesatuan Adat Banten Kidul. Warga kasepuhan tersebut dipercaya oleh komunitasnya berasal dari Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Padjadjaran Kab. Bogor lebih kurang 500 tahun yang lalu. Hal ini diperkuat kembali dengan keterangan Abah Anom, bahwa warga kasepuhan merupakan keturunan Prabu Siliwangi dari Pakuan Padjadjaran. Di Kab. Sukabumi, komunitas kampong kasepuhan terletak di Kec. Cikakak dan Cisolok, sekira 123 km dari Bandung, 100 km dari Sukabumi atau 40 km dari Pelabuhan Ratu. Komunitas kasepuhan ini menempati daerah Sukabumi bagian selatan sesuai dengan perintah wangsit dari leluhurnya.  
Penelitian yang dilakukan Nuryanto dan Isep (2007) meliputi dua generasi perkampungan warga kasepuhan, yaitu Ciptarasa dan Ciptagelar. Secara umum, kondisi kedua kampung tersebut masih terawat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari kelengkapan bangunannya seperti: imah, bumi ageung, leuit, saung lisung, kandang, tajug dan lain sebagainya. Bagi kedua warga kasepuhan, kampung merupakan bali geusan ngajadi, artinya tempat seseorang kembali ke asalnya dilahirkan. Sedangkan rumah merupakan sumber hirup jeung kahirupan, artinya sumber keberkahan dan kesejahteraan bagi anggota keluarga.  Perpindahan yang lebih dikenal di kalangan warga kasepuhan dengan istilah hijrah wangsit merupakan ciri khas tersendiri komunitas kasepuhan yang tidak dimiliki oleh warga kampung adat lain, baik di Banten maupun Jawa Barat. Perpindahan inilah yang melatar belakangi dilakukannya penelitian Kajian Pola Kampung dan Rumah Tinggal Warga Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul di Sukabumi-Jawa Barat, dengan fokus lokasi kampung Kasepuhan Ciptarasa dan Ciptagelar.
Hasil penelitian yang dilakukan Nuryanto dan Isep (2007) mencoba menjawab dan mengungkap pola kampung dan rumah tinggal warga Kasepuhan Ciptarasa dan Ciptagelar yang merupakan bagian dari desa-desa Sunda. Dalam makalah ini penulis yang berasal dari suku Sunda merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang pola kampong dan rumah tinggal masyarakat Sunda yang di sadur dari berbagai sumber penelitian yang valid.  Dalam penulisan makalah ini penulis lebih banyak mengacu pada jurnal hasil penelitian yang diterbitkan oleh beberpa universitas ternama di Indonesia terutama dari hasil penelitian Nuryanto dan Isep yang berjudul “Kajian Pola Kampung dan Rumah Tinggal Warga Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul Di Sukabumi Selatan-Jawa Barat” yang diterbitkan Universitas Indonesia tahun 2008.


BAB II
DASAR TEORI
II. Definisi Kampung
  Kampung adalah:
1.      Suatu daerah, di mana terdapat beberapa rumah atau keluarga yang bertempat tinggal di sana
2.       Daerah tempat tinggal warga menengah ke bawah di daerah kota
3.      Nama alternatif untuk desa/kelurahan yang merupakan satuan pembagian administratif daerah yang terkecil di bawah kecamatan/mukim/distrik/banua (benua). Kampung sebagai sinonim dari istilah desa ini dipakai di Lampung (Kab. Lampung Tengah, Tulangbawang, Tulangbawang Barat, Mesuji, dan Way Kanan), Papua dan Kalimantan Timur (Berau dan Kutai Barat). Sebuah kampung dipimpin oleh seorang Kepala Kampung (Kamponghofd) sinonim dari Kades.
4.      Nama alternatif untuk dusun/banjar/padukuhan/rukun kampung (RK)/anak kampung, yang semua itu merupakan bagian dari sebuah desa/kelurahan. Kampung sebagai sinonim dari dusun ini dipakai di Jawa, Nusa Tenggara Barat dan tempat-tempat tertentu.
Istilah kampungan juga sering digunakan untuk merujuk kepada sikap-sikap "terbelakang", "tidak tahu tata-krama" dan sebagainya.
Ada kemungkinan kata kampung diambil dari bahasa Portugis; campo, tempat perkemahan. Nama-nama daerah di Kamboja sering disebut kompong yang merupakan sebuah distrik seringkali juga dipakai sebagai nama provinsinya. Istilah kampung dalam bahasa Aceh disebut gampong dan dalam bahasa Minang disebut kampuang. Istilah kampung biasanya disingkat dengan Kp (di Indonesia) atau Kg (di Malaysia).

II.2 Jenis dan Pola Kampung Sunda
Bagi Masyarakat Sunda, kesatuan kecil permukiman terdiri dari satu atau beberapa rumah yang tidak berjauhan jaraknya. Dalam Masyarakat Sunda, terbentuknya kampung melalui empat proses. Pertama; diawali dengan terbentuknya umbulan, yaitu permukiman yang terdiri atas 1-3 rumah. Kedua; dari umbulan berkembang menjadi babakan, yaitu kesatuan permukiman yang terdiri dari 4-10 rumah. Ketiga; berkembang lagi menjadi lembur, yaitu kesatuan permukiman yang memiliki antara 10-20 rumah. Keempat; terbentuklah kampung, yaitu kesatuan permukiman yang memiliki lebih dari 20 rumah beserta lingkungannya (Garna, 1984:227-229). Berdasarkan pendapat Ekadjati dan Garna tersebut, maka Kasepuhan Ciptarasa dan Ciptagelar merupakan kampung yang memiliki ”ciri sabumi, cara sadesa”, karena masih dilingkupi adat istiadat leluhur. Berdasarkan prosesnya, kedua kasepuhan tersebut juga termasuk jenis kampung, karena rumah penduduknya lebih dari 20 buah.
 Jenis dan pola kampung di Tatar Sunda, sebagaimana di wilayah Indonesia lainnya beraneka ragam. Faktor budaya serta lingkungan sekitar turut mempengaruhi keaneka ragaman jenis dan pola kampungnya. Hal tersebut berkaitan erat dengan penjelasan Ekadjati (1995:125-126), bahwa jenis dan pola Kampung Sunda dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: sejarah terbentuk dan perkembangan kampung yang bersangkutan, letak geografis serta mata pencaharian utama penduduknya. Selanjutnya, Ekadjati (1995:126) membagi jenis Kampung Sunda berdasarkan letak geografisnya ke dalam tiga bagian, yaitu:
1.                  Kampung pegunungan, yaitu kampung yang terletak di daerah pegunungan dan dataran tinggi, seperti: Kampung Cibodas (Kec. Lembang Kab. Bandung) yang terletak di lereng Gunung Bukit Tunggul, Kampung Citorek (Kec. Bayah Kab. Lebak-Banten) di daerah pegunungan Kendeng dan Kampung Puncak (Kecamatan dan Kab. Kuningan) di lereng Timur Gunung Ciremai;
2.                   Kampung dataran rendah, yaitu kampung yang terletak di daerah dataran rendah, seperti: Kampung Lohbener (Kec. Lohbener Kab. Indramayu), Kampung Cibuaya (Kab. Karawang) dan Kampung Kasemen (Kab. Serang);
3.       Kampung pantai, yaitu kampung yang terletak di tepi pantai, di sepanjang pesisir yang mengelilingi wilayah Jawa Barat bagian Utara (Laut Jawa), Barat (Selat Sunda) dan Selatan (Lautan Indonesia), seperti: Kampung Banten (Kec. Kasemen Kab. Serang) dan Kampung Sukalila (Kotamadia Cirebon).

II.3 Tata Ruang Kampung
Alam di Ciptarasa dan Ciptagelar terdiri dari pegunungan dan perbukitan. Kondisi tersebut juga ditunjang dengan adanya kontur tanah yang tidak rata, sehingga secara tidak langsung ikut mempengaruhi pola perletakan massa bangunan pada tata ruang kampungnya. Warga menyebut tata ruang dengan istilah paranti tempat atau umpluk wangunan dengan pengertian yang sama, baik di Ciptarasa maupun di Ciptagelar. Tata ruang dibuat untuk mengatur atau mengelompokkan massa bangunan (fungsi), misalnya rumah dan kandang, massa bangunan adat dan non adat, pribadi dan komunal, sehingga tidak campur aduk. Tata ruang yang tertib
secara tidak langsung mencerminkan penghuninya yang terbiasa hidup tertib.  Kedua kampung sama-sama memiliki tata ruang paranti tempat beresih atau umpluk wangunan beresih serta paranti tempat kokotor atau umpluk wangunan kokotor dengan definisi dan fungsi yang sama. Dalam pengaturannya, tata ruang atau zoning bersih menempati bagian depan dari pola kampung, sedangkan zoning kotor berada pada bagian belakangnya. Tata ruang yang berada pada bagian depan (lapis kesatu) berfungsi untuk melayani kebutuhan primer bagi penghuni dan tamu, sedangkan yang menempati bagian belakang (lapis kedua) untuk melayani kebutuhan sekunder.  Pada tata ruang Kampung Ciptarasa dan Ciptagelar, rumah tinggal sesepuh girang sama-sama berada pada daerah yang lebih tinggi, sedangkan rumah tinggal warganya menempati daerah yang lebih rendah. Bumi ageung di Ciptarasa dan Ciptagelar sama-sama menghadap ke selatan, sedangkan rumah serta massa bangunan yang berada di sekitarnya berorientasi ke bumi ageung sebagai pusatnya. Selatan dan bumi ageung memiliki makna simbolik sesuai dengan kepercayaan warga kasepuhan, demikian juga arah timur dan barat. Perletakan massa bangunan pada tata ruang bumi ageung dan bumi warga, sama-sama berorientasi kepada bumi ageung yang berada pada sumbu utara-selatan. Berdasarkan perletakan tersebut, maka kedua kampung memiliki pola yang memusat.
Orientasi ke selatan berhubungan erat dengan pandangan kosmik masyarakat Sunda serta sejarah kerajaan Sunda terbesar, yaitu Padjadjaran. Munurut Lubis, (2003:83), dalam lingkungan keraton Pakuan Padjadjaran terdapat dua bangunan yang memiliki arti penting, yaitu Suradipati dan Bima. Suradipati berasal dari kata sura dan adipati, artinya tempat tinggal raja. Bangunan tersebut terletak paling selatan. Dalam prasasti Kawali disebutkan Surawisesa, artinya tempat kekuasaan tertinggi atau tempat persemayaman raja. Hal tersebut sesuai dengan konsep agama Hindu-Budha, bahwa keraton utama (tempat tinggal raja) terletak paling dekat dengan rangkaian pegunungan di selatan Pakuan Padjadjaran (Pangrango, Salak dan Gede). Dalam naskah keagamaan Sunda, gunung-gunung tersebut dianggap sebagai tempat bersemayamnya hiyang. Bima merupakan bangunan keraton yang terletak paling utara, dekat dengan alun-alun dan pintu gerbang. Berdasarkan pendapat Lubis, maka bagian depan bumi ageung yang menghadap ke selatan diduga karena selatan merupakan tempat tinggal Raja Padjadjaran (keraton Suradipati).


                                                BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Pola Rumah Tinggal Warga Kasepuhan Ciptarasa dan Ciptagelar Bentuk dan Organisasi Ruang
Bentuk dan organisasi ruang menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam membuat rumah, karena dari sinilah akan diketahui karakter bangunan yang akan di huni oleh warga. Dalam masyarakat Sunda, bentuk menjadi salah satu inspirasi untuk memberikan nama suatu benda, misalnya: bumi ageung artinya rumah besar, karena bentuk atau ukurannya besar atau leuit pangheucakan artinya lumbung padi kecil, karena bentuk dan ukurannya kecil. Bentuk juga merupakan hal yang paling mudah dikenal oleh warga, karena sifatnya kasat mata (visual).  Bentuk rumah kedua warga kampung adalah panggung, sesuai aturan leluhurnya. Menurut Adimihardja (1987:89-90), panggung merupakan bentuk bangunan yang paling penting bagi masyarakat Sunda, dengan suhunan panjang dan tambahan teritis pada bagian depan dan belakang serta suhunan jure, bentuk atap perisai yang memanjang. Bentuk rumah masyarakat Sunda pada umumnya adalah panggung, yaitu rumah berkolong dengan menggunakan pondasi umpak (Garna, 1984:200). Berdasarkan pendapat Adimihardja dan Garna tersebut, maka bentuk
panggung dapat dikatakan sebagai ciri khas rumah adat tradisional Sunda. Pada rumah masyarakat Sunda non adat dikenal bentuk lain, yaitu ngupuk atau gedong, artinya rumah yang lantainya menempel pada tanah dan dindingnya terbuat dari bata atau batako.
Rumah panggung terdiri dari tiga bagian: suku atau calana merupakan bagian paling bawah menyimbolkan kematian (dunia bawah), awak atau pakaya adalah bagian tengah-tengah sebagai simbol kehidupan (dunia tengah), sedangkan hulu atau mahkuta melambangkan hubungan manusa ka Gustina, artinya hubungan vertikal manusia kepada Tuhan (dunia atas). Menurut Adimihardja (1987:89-90), dunia tengah merupakan pusat alam semesta dan manusia menempatkan diri sebagai pusatnya, karena itulah tempat tinggal manusia harus terletak di tengah- tengah, tidak ke dunia bawah (bumi) dan dunia atas (langit). Dengan demikian, rumah harus memakai tiang yang di beri alas di bawahnya berupa batu umpak, sehingga lantai rumah tidak menempel langsung pada tanah.  
Denah rumah Warga Ciptarasa dan Ciptagelar memiliki bentuk dasar kotak. Organisasi ruangnya sama-sama terdiri dari tiga bagian: tepas atau hareup imah, tengah imah dan pawon atau tukang imah dengan definisi dan makna simbolik yang sama. Tepas imah atau bagian depan berfungsi bagi aktivitas laki-laki (keur lalaki), tengah imah atau bagian tengah merupakan daerah umum bagi laki-laki dan perempuan (keur umpi), sedangkan pawon atau bagian belakang berfungsi bagi kegiatan perempuan (keur istri). Pembagian organisasi ruang tersebut memiliki kesamaan dengan pendapat Wessing (1978:57-59), bahwa depan merupakan daerah laki-laki, bersifat di luar, terlibat politik dan hubungan eksternal, demikian juga tempat kerjanya bersifat di luar. Tengah rumah bersifat netral bagi semua anggota keluarga dan orang lain, sedangkan belakang rumah adalah daerah perempuan, terutama goah dan padaringan khusus untuk perempuan, bahkan menurut kebiasaan ruang ini merupakan bagian dalam rumah yang terlarang bagi kaum pria.

III.2 Aturan Membangun

Kasepuhan Ciptarasa dan Ciptagelar termasuk ke dalam komunitas masyarakat adat di Jawa Barat yang aktivitas hidupnya dilandasi oleh aturan leluhur. Pada rumah, aturan tidak hanya mengikat pada bentuk dan organisasi ruang, komponen dan bahan bangunan, tetapi juga proses mendirikannya yang disebut ngadegkeun imah serta pelaksanaan upacara adat baik sebelum, selama maupun sesudahnya. Terdapat dua jenis aturan, yaitu: nu kadeuleu (fisik) dan nu teu kadeuleu (non fisik). Aturan tersebut bertujuan untuk mengatur proses mendirikan rumah dari awal hingga akhir agar berjalan tertib dan lancar. Aturan membangun berisi anjuran dan larangan adat, apabila dilanggar akan mendapat murka dari leluhur.  Warga Ciptarasa dan Ciptagelar memiliki tata cara yang sama dalam mendirikan rumah, mulai dari: ancer-ancer, badami, nyekar, nyuhunkeun tumbal ngala bahan, natahan, ngalelemah, ngaranjingkeun umpak, ngarancak, sakatimang hingga ngadegkeun imah. Upacara ritual yang mengiringinya terdiri dari: upacara nyekar, ngalelemah dan natahan (sebelum membangun), ngadegkeun suhunan dan parawanten (selama membangun), salametan dan ngaruwat imah (sesudah selesai membangun). Upacara-upacara tersebut bertujuan untuk meminta perlindungan kepada Tuhan dan restu dari leluhur agar pekerja dan calon penghuni diberikan keselamatan serta rumah yang akan diisi mendapat berkah.
Setelah selesai mendirikan rumah, warga di Ciptarasa dan Ciptagelar sama-sama dilarang melakukan perjalanan jauh ke kota atau keluar dari wilayah kampungnya dengan tujuan apapun, karena pamali (dilarang adat). Larangan tersebut terhitung sejak rumah diisi selama empat puluh hari, apabila dilanggar akan mendapat kesulitan dalam mencari rejeki, kecelakaan, merugi dan lain sebagainya.

III.3 Ragam Hias

Warga Ciptarasa dan Ciptagelar mengenal ragam hias buatan yang dibagi ke dalam dua jenis: keur adat dan lain keur adat atau keur tatali paranti dan lain keur tatali paranti dengan pengertian yang sama. Ragam hias adat memiliki aturan tersendiri, sedangkan non adat tidak. Kedua jenis ragam hias tersebut digunakan sejak kasepuhan berdiri dan diperoleh secara turun temurun dari leluhurnya.
Ragam hias adat berupa cabik dengan bentuk setengah lingkaran, lingkaran dan segi tiga. Ragam hias cabik lingkaran sama-sama memiliki simbol kebulatan niat dan tekad. Pada rumah Baduy, cabik lingkaran berhubungan dengan kepercayaan sebagai lambang lingkaran hidup (Riyadi, 1994:63). Di samping itu, bentuk lingkaran juga merupakan simbol bahwa langit dan bumi serta isinya merupakan kesatuan alam jagad raya (Riyadi, 1988:60). Pada pintu, jendela dan pagar teras, mereka membuat kupatan (ragam hias adat) dengan bentuk menyilang sebagai simbol penolak bala. Pada rumah Baduy, bentuk menyilang pada kusen pintu rumah merupakan simbol keselamatan dan rejeki (Riyadi, 1988:55). Sasag dan golodog termasuk ragam hias non adat yang tidak memiliki makna simbolik, tetapi lebih sebagai fungsi semata.

II.4  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Kampung dan Rumah Tinggal
di Ciptarasa dan Ciptagelar

a.      Pada Pola Kampung
▪ Pandangan Kosmologis
Pandangan kosmologis termasuk ke dalam elemen inti (core element) yang sulit berubah, karena berisi tentang keyakinan dan kepercayaan warga kasepuhan terhadap adat tradisi leluhurnya secara turun temurun (tatali paranti karuhun).
▪ Sejarah dan Pembentukan Kampung
Sejarah dan pembentukan kampung merupakan faktor atau elemen inti, karena di dalamnya berisi latar belakang yang dimiliki oleh kedua kasepuhan tersebut, misalnya asal usul nenek moyang atau leluhur, adat istiadat, peristiwa hijrah wangsit serta pemahaman makna terhadap tempat tinggalnya.
▪ Keadaan Alam
Keadaan alam merupakan kondisi geografis dimana kedua kampung tersebut berada, misalnya sama-sama menempati daerah pegunungan atau perbukitan, sehingga kampungnya memiliki bentuk yang sama, yaitu galudra ngupuk. Di samping itu, kondisi tanah yang tidak rata mengakibatkan kedua warga kampung mengatur perletakkan massa bangunannya secara sengkedan.

b.      Pada Pola Rumah
▪ Peristiwa Hijrah Wangsit
Peristiwa tersebut berkaitan erat dengan proses pembentukan rumah dan pindahnya pimpinan adat kasepuhan. Hijrah wangsit tidak dapat dihindarkan, karena sudah menjadi ketentuan dari leluhur.
▪ Sosial-Ekonomi
Faktor sosial berkaitan dengan struktur keluarga, yaitu dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga, sehingga berkembang juga kebutuhan akan ruang. Faktor ekonomi berhubungan dengan kemampuan warga membeli bahan bangunan yang berasal dari toko matrial. Adanya sebagian warga yang bekerja di kota, secara tidak langsung mempengaruhi pendapatan ekonomi, sehingga ada keluarga yang mampu dan tidak. Hal tersebut dapat dilihat pada tampilan rumah; semakin mampu, maka rumah akan terlihat lebih ’mewah’.
▪ Selera
Selera merupakan keinginan pribadi yang bebas untuk mengikuti atau meniru suatu bentuk. Faktor selera biasanya muncul karena adanya kebosanan atau kejenuhan terhadap hal-hal lama. Selera berkaitan erat dengan faktor ekonomi, atau dapat terwujud dengan cara memaksakan diri tanpa memperhatikan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Bentuk rumah yang beraneka ragam terjadi karena adanya keinginan untuk tampil beda dengan rumah tetangganya.
▪ Teknologi
Faktor teknologi berkaitan erat dengan struktur, konstruksi dan penggunaan bahan bangunan. Ketersediaan sumber daya alam, pengetahuan dan kemampuan teknologi warga yang terbatas ikut mempengaruhi wujud fisik rumahnya.
▪ Modernisasi
Modernisasi cenderung pada perkembangan atau kemajuan zaman dari masa lalu ke sekarang. Modernisasi biasanya terjadi karena adanya perubahan cara  pandang dari sekelompok masyarakat terhadap nilai-nilai, seperti munculnya gaya hidup, trend atau mode dan lain sebagainya. Gaya hidup dan trend tanpa disadari akan menggiring sekelompok masyarakat tertentu pada kebiasaan ikut-ikutan (budaya latah) tanpa memperhatikan aturan adat leluhurnya.
▪ Pariwisata
Perkembangan pariwisata di Pelabuhan Ratu semakin pesat, terutama dengan munculnya obyek wisata Taman Nasional Gunung Halimun di Ciptarasa dan Ciptagelar, secara tidak langsung memberikan peluang tambahan pendapatan keluarga bagi kedua warga sekitar. Hal tersebut mempengaruhi tata ruang dan fungsi rumah yang tidak hanya sebagai tempat tinggal saja, tetapi memiliki fungsi lain yaitu warung.

BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Bahwa pada masyarakat adat Sunda (khususnya di Kasepuhan/desa Ciptarasa dan Ciptagelar) mempunyai pola kampong dan pola rumah yang khas dan diatur oleh adat. Bangunan rumahnya merupakan rumah panggung yang memiliki kolong.  Warga Ciptarasa dan Ciptagelar menganggap dirinya sebagai keturunan dari kerajaan Sunda sehingga mereka ingin tetap melestarikan budanya pola kampungnya. Dalam menentukan tempat tinggalnya warga membangunnya sesuai wangsit  dari leluhurnya.
IV.2 Rekomendasi dan Saran
Kearifan lokal yang masih kental di beberapa wilayah desa Sunda (khususnya di Kampung Ciptagelar dan Ciptarasa) harus turut dilestarikan oleh warga, cendikiawan, maupun pemerintah.  Interaksi dengan kebudayaan lain dari luar dapat  menyebabkan menghilangnya tradisi adat pola kampong masyarakat adat Sunda.
DAFTAR PUSTAKA
Kampung. id.wikipedia.org/wiki/Kampung. Diakses 16/05/2011 pkl 17.25 wib
Nuryanto dan Isep Machpudin. 2008. Kajian Pola Kampung dan Rumah Tinggal Warga Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul Di Sukabumi Selatan-Jawa Barat. http://file.upi.edu. Diakses 16/05/2011 pkl 17.22 wib
Kampung Budaya Sunda. http://www.kp-sindangbarang.com/. Diakses 16/05/2011 pkl 17.30 wib

5 komentar:

  1. Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai POLA KAMPUNG DAN RUMAH TINGGAL WARGA DESA MASYARAKAT ADAT SUNDA.Benar benar sangat bermamfaat dalam menambah wawasan kita menjadi mengetaui lebih jauh mengenai indonesia.Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai indonesia yang bisa anda kunjungi di http://indonesia.gunadarma.ac.id

    BalasHapus
  2. terimaksih..

    http://st3telkom.ac.id/

    BalasHapus
  3. makasih infonya

    http://st3telkom.ac.id/

    BalasHapus
  4. Terimakasih informasinya . . .

    http://st3telkom.ac.id

    BalasHapus