KRITIK
TERHADAP KEBIJAKAN UJIAN AKHIR
NASIONAL (UAN) DALAM
EVALUASI DAN STANDARISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Makalah
TUGAS AKHIR SEMSETER
INDIVIDU
Mata
Kuliah: Studi Kebijakan Publik
Disusun
oleh
Syahid Ismail (090901043)
----------------------------------
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan YME atas rahmat-Nya sehingga kita bisa
tetap dalam kondisi prima untuk menjalankan segala aktivita kita baik itu
aktivitas pribadi maupun dalam ranah sosial dan kebangsaan.
Selama proses penyusunan Makalah ini ada kendala-kendala yang dialami seperti
keterbatasan waktu, literatur dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Namun,
selama proses itu pula penulis mendapat banyak pelajaran dan pengetahuan baru.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dosen dan Asisten
Dosen yrang telah membimbing dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan baru
seputar Studi Kebijakan Publik.
Akhirnya penulis berharap, Makalah ini
dapat dan layak untuk memenuhi tugas Akhir semester mata kuliah pilihan Studi
Kebijakan Publik.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam Makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kritik-kritik yang konstuktif sangat dinantikan, untuk
meningkatkan etos kerja dan kapasitas penulis di masa yang akan datang.
Makalah:
KRITIK TERHADAP KEBIJAKAN UJIAN
AKHIR NASIONAL (UAN) DALAM EVALUASI DAN
STANDARISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Ketebalan halaman: iii+18=21
Medan, 24 Mei 2011
SYAHID ISMAIL
NIM: 090901043
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia
memiliki segudang permasalahan yang saling kait-mengait bak benang kusut yang
sulit untuk diurai. Mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, kriminalitas,
korupsi, bencana, rendahnya tingkat kesehatan, kebodohan, bahkan angka buta
huruf di Indonesia masih sangat tinggi.
Dari
segudang masalah tersebut, penulis berpendapat bahwa solusi inti untuk mengurai semua permasalahan bisa
dimulai dengan pendidikan yang baik bagi anak bangsa. Dengan pendidikan,
permasalahan lain seperti rendahnya tingkat kesehatan, pengangguran,
kriminalitas, dan korupsi akan mudah terselesaikan dengan sendirinya seiring
dengan berkembangnya kecerdasan masyarakat. Sejarah telah membuktikan bagaimana
ide perjuangan kemerdekaan Indonesia lahir dari para intelektual muda yang
telah mengikuti proses pendidikan ketika itu.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah guna
tercapainya cita-cita dalam bidang pendidikan seperti yang diamanatkan oleh
pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya yang dilakukan
tersebut berupa pembaharuan atau inovasi dalam bidang pendidikan. Pembaharuan
atau inovasi pendidikan merupakan suatu perubahan yang baru, yang kualitatif
dan berbeda dari sebelumnya, serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan
kemampuan dalam pendidikan (Wijaya, Djajuri, dan Rusyan, 1988:7).
Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di
setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004, pendidikan merupakan
usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki
peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk
mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki
keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk
mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode
pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk
evaluasi.
Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama
yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun tidak semua bentuk
evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah
ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat
dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap
tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak
tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian Akhir Nasional merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan
Pemerintah yang merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap
Akhir) yang sebelumnya dihapus. Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) dalam
beberapa tahun ini menjadi satu masalah yang cukup ramai dibicarakan dan
menjadi kontraversi dalam banyak seminar atau perdebatan. Beberapa kali sempat
terlontar rencana atau keinginan dari beberapa pihak untuk menghapus atau
meniadakan Ujian Akhir Nasional tersebut. Tidak kurang dari Mendikbud sendiri
pernah melontarkan pernyataan akan menghapus UAN, dan pernyataan beberapa
anggota Dewan yang mengusulkan penghapusan UAN tersebut.
Dalam beberapa pertemuan perkuliahan Studi kebijakan Publik,
penulis sempat melontarkan beberapa
pertanyaan seputar kebijakan Ujian nasional tersebut. Banyaknya konroversi dan
permasalahan yang timbul akibat kebijakan UN menyebabkan penulis tertarik untuk
membahas secara terperinci dan mendalam yang berpatok pada referensi pustaka
yang ada.
Dalam tahun 2006, walaupun UAN mengalami peningkatan dalam prosentase kelulusan,
masih dipandang sebelah mata oleh anggota DPR. Hal ini terjadi karena banyaknya
laporan yang masuk ke DPR mengenai penyelewengan yang terjadi dalam UAN
tersebut. (Detik.com 26/06/2006). Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR, UAN
dinilai diskriminatif terhadap peserta didik. Komisi X menilai UAN ini
sebaiknya hanya digunakan untuk pemetaan kemampuan siswa yang nantinya
digunakan untuk mendukung pembuatan kebijakan dan bukan untuk penentu
kelulusan. UAN juga bertentangan dengan Sisdiknas, karena dalam Sisdiknas
dikatakan bahwa tenaga pengajar diberikan kewenangan untuk menilai siswanya
dalam masalah kelulusan.
Pada tahun 2005, Komisi X DPR RI pernah menolak kebijakan pemerintah
khususnya Mendiknas Bambang Sudibyo yang bersikukuh tetap melaksanakan UAN di
tahun 2005 yang lalu. Menurut Ketua Komisi X Heri Akhmadi, pelaksanaan UAN
bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan : Evaluasi Peserta Didik, satuan Pendidik,
dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala,
menyeluruh, transparan, dan sistematik, untuk menilai pencapaian standard
nasional pendidikan. Dalam pasal 58 UU Sisdiknas tersebut juga dinyatakan
bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau
proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan (Kompas, Senin 24 Januari 2005).
Adapun syarat kelulusan UAN untuk tahun 2008 ini adalah 4,25 untuk nilai
minimal masing-masing mata pelajaran yang diujikan dan rata-rata minimal 5,0.
Ada empat mata pelajaran yang diujikan yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika dan IPA. Banyak terjadi seorang siswa yang dalam pendidikan
disekolah mendapatkan ranking cukup baik dikelas tetapi tidak lulus UAN hanya
karena salah satu mata pelajaran tersebut nilainya kurang dari rata-rata.
Sehingga walaupun nilai mata pelajaran lain tinggi, tetap tidak lulus. Beberapa
siswa bahkan sudah diterima di perguruan tinggi negeri melalui jalur PMDK atau
di SMA tertentu, tetapi gagal karena tidak lulus UAN, dan perguruan tinggi
negeri serta SMA swasta favorit tidak mau menerima peserta yang tidak lulus
UAN. Bahkan beberapa sudah sempat diterima di perguruan tinggi luar negeri
tetapi gagal juga karena tidak lulus UAN.
Dengan demikian UAN dalam implementasinya mengalami krisis kebijakan
dimana faktor penyebab krisis dapat ditinjau dari berbagai dimensi sebagai
contoh sederhana krisis tersebut dapat terjadi karena kekurangan dalam proses
perumusan kebijakan dan programnya, kekeliruan dalam proses perencanaan,
penyimpangan dalam pelaksanaan, kelemahan dalam penentuan anggaran atau bahkan
pada saat pengawasan dan dan pelaporan.
I.2 Rumusan Masalah
Pada makalah ini mencoba untuk mengupas analisis kebijakan evaluasi
dalam bentuk UAN serta permasalahannya dan juga rekomendasi tentang pelaksanaan
evaluasi yang bertaraf nasional.
I.2 Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan makalah ini
penulis menggunakan metode analisis studi
pustaka . Pengumpulan data dilakukan dengan jara penelusuran pustaka (research file) terhadap sumber-sumber
pustaka. Adapun sumber pustaka yang diteliti adalah sebagai berikut:
1.
Koran
Kompas bulan April-Mei 2011,
2.
Media
berita Online: detik.com,
3.
Jurnal,
skripsi, dan literatur buku.
Penelitian dilakukan di
Perpustakaan USU dan di rumah penulis pada tanggal 9-30 Mei 2011.
Penyelesaian studi pustaka ini
dilakukan melalui beberapa tahap: Pertama,
Perumusan data-data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang ada. Data
tersebut hanya merupakan data mentah yang berasal dari pengetahuan penulis
berdasar pada hasil pembacaan penulis terhadap beberapa literatur sebelumnya.
Kedua, tahap mengumpulkan data. Data
yang dikumpulkan diambil dari Koran Kompas, buku, jurnal, skripsi, dan beberapa
situs internet yang dinilai validitas datanya tinggi karena sudah resmi diakui
dan dijadikan sumber acuan berita nasional seperti kompas.com, dan web resmi
universitas. Data internet tersebut diambil karena kurang tersedianya data ter-update dalam bentuk buku.
Ketiga, data tersebut dikumpulkan lalu
diverifikasi guna menjawab permasalahan yang telah diajukan. Data-data tersebut
disusun agar sistematis memberikan penjelasan yang valid dan jelas.
BAB II
DASAR TEORI
II.1 Ujuan
Nasional
Ujian Nasional biasa disingkat UN / UNAS
adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional
dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat
Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu
pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas
penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala,
menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar
nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan
secara berkesinambungan.
Proses pemantauan evaluasi tersebut dilakukan
secara terus menerus dan berkesinambungan pada akhirnya akan dapat membenahi
mutu pendidikan. Pembenahan mutu pendidikan dimulai dengan penentuan standar.
Penentuan standar yang terus meningkat
diharapkan akan mendorong peningkatan mutu pendidikan, yang dimaksud dengan
penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila
telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik
yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai
kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka
nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan
tidak lulus disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan disebut
standard setting.
Manfaat pengaturan standar ujian akhir:
1.
Adanya batas kelulusan setiap mata pelajaran
sesuai dengan tuntutan kompetensi minimum.
2.
Adanya standar yang sama untuk setiap mata
pelajaran sebagai standard minimum pencapaian kompetensi.
Mata
Pelajaran yang diujikan:
Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) ada 3 mata
pelajaran yang diujikan yaitu: Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ada 4 mata
pelajaran yang diujikan yaitu: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Untuk tingkat
Sekolah Menengah Atas (SMA) ada 6 mata pelajaran yang diujikan, tergantung
penjurusannya:
II.2
Evaluasi Hasil Belajar
Sebelum berbicara tentang evaluasi, terlebih dahulu akan dikemukakan
tentang kurikulum sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum
mencakup fokus program, media instruksi, organisasi materi, strategi
pembelajaran, manajemen kelas, dan peranan pengajar (Arieh Lewy, 1977:7-8). Di
Indonesia sekarang sedang dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi
yang dibakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Adapun tujuan
pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
bahwa pendidikan “bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3).
Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian
tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga
cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya
dengan tes belaka (Soedijarto, 1993:17). Untuk itu evaluasi harus mampu
menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem
evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik
mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal saja.
Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa
anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal
walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya
harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang
dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu pendidikan
harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang
tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain evaluasi tidak bisa dilakukan
hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau
menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan
berkelanjutan (Soedijarto, 1993b:27-29).
Demikian pula yang dikemukakan McNeil (1977:134-135) dimana evaluasi
harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu penempatan, mastery, dan
diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang mana seorang
anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak frustasi. Mastery
berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya. Diagnosis berkaitan dengan pada
bagian mana yang dirasa sulit oleh anak.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Kontroversi Kebijakan UN
Pada penyelenggaraan UAN tahun
ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari
teknis hingga finansial. Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian
tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris,
salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening.
Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk
mendengar (tape dan earphone). Pada
prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang
yang baik.
Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi
bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang
dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan
sistem silang--pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari
sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk
memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.
Kasus di beberapa sekolah, guru,
terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika,
bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban
kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti
dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun
terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa.
Itu tadi sekitar kilas balik dari
ujian akhir yang telah beberapa tahun ini dilaksanakan di Indonesia. Dan untuk
tahun ajaran 2007/2008 para petinggi pendidikan mengeluarkan sebuah kebijakan
bahwa yang menetapkan 6 mata pelajaran yang di UN-kan. Ini merupakn fenomena
yang benar – benar memberatkan siswa karena pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan secara instan. Mungkin karena kebijakan pemerintah ini akan menambah
daftar panjang kecurangan maupun penyimpangan dalam Ujian Akhir Nasional.
Namun , Program pemerintah ini
apakah akan berhasil jika tahun 2006/2007 mulai diterapkan? Pemerintah tidaklah
sendirian dalam perjuangan ini. Dari pemerintah pendidikan pusat sampai siswa
adalah semua faktor untuk mendukung upaya ini. Terutama bagi para siswa ,
merekalah yang sebenarnya sangat berperan dalam upaya ini. dari hasil kelulusan
merekalah keberhasilan program ini bisa dilihat.
Mayoritas para siswa sangat
keberatan untuk menghadapi Ujian Nasional yang 6 Mata Pelajaran ini. Mereka
semua menganggap bahwa Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan
dengan meningkatkan standar kelulusan adalah satu cara instan yang salah .
Pemerintah terlalu ngotot untuk memberlakukan aturan ini padahal kenyataanya
sistim pendidikan di negeri kita ini masih banyak yang perlu diperbaiki. Salah
satu kebijakan kontroversial adalah keputusan Mendiknas Nomor 017 Tahun 2003 mengenai Ujian Akhir Nasional
(UAN). Kebijakan ini mendapat tantangan dari berbagai kalangan pendidik.
Kalangan guru merasa dipotong haknya sebagai penentu kelulusan siswa. Selain
itu siswa pun merasa hasil belajar mereka tidak dihargai karena penilaian hanya
didasarkan pada nilai UAN. Meski hanya 3 mata pelajaran, tidak seperti Ebtanas
yang bisa mencapai 7 mata pelajaran, kebijakan itu tetap saja menuai protes.
Apalagi belakangan diketahui bahwa Depdiknas menggunakan tabel konversi untuk
mengatrol nilai siswa yang rendah. Banyak yang menilai bahwa kebijakan UAN
hanya cara mudah pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan memuat
standar nilai kelulusan, diharapkan tidak semua siswa bisa lulus dan mutu
lulusan pun meningkat. Padahal dengan kondisi Indonesia yang sangat beragam,
tidak mungkin membuat sebuah standar yang sama dari Sabang sampai Merauke.
III.2 Analisa Kebijakan UAN
Dalam pembahasan ini dijelaskan analisa kebijakan UAN yang bertentangan
dengan UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam pendidikan. Pertama, ada
anggapan dari sebagian orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap
bahwa UAN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil
kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan.
Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian
Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah
untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes
pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan
gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi
tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan
tiga informasi penting seperti yang dipaparkan oleh McNeil. Selain itu pula
dalam evaluasi pendidikan diharapkan dapat memberikan informasi tentang
keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga
dapat meningkatkan kreativitas, kemandirian dan sikap demokratis peserta didik
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan
dapat diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun
ajaran? Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku
siswa, apakah bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu
pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi
pelaksanaan UAN sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh
mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun
sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu disebut
Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka
akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan
sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya
memberikan tes pada beberapa mata pelajaran ‘penting’ saja, apalagi
dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan
semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah,
bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan
seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan
menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri
dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis.
Dengan kata lain, UAN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup
mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh
untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UAN.
Selain itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa
mata pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan
peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang
dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran
tentang perkembangan pendidikan peserta didik, tes tersebut tidak dapat
memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian karena tes tertulis
tidak dapat melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak selain itu
pula tes di ujung tahun ajaran tidak dapat menyajikan keterampilan siswa yang
sesungguhnya dan juga hasil tes tidak dapat menggambarkan kemampuan dan
keterampilan anak selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi
pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang
diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak bisa diukur hanya dengan
memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah
untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan
pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah.
Adalah ironis kalau UAN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan
pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif,
afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk
manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang
semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UAN. Dengan kata
lain, UAN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan
dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu
diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan
situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan
kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah
perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda
mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota
relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di
daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan
kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat
ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar yang sama untuk semua sekolah
di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidakadilan
bagi peserta didik yang tentu saja hasilnya akan jauh berbeda, sedangkan
kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.
Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang
dianggap “penting” juga memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi
orang akan beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan
IPA yang merupakan mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita
anak-anak yang memiliki bakat untuk melukis atau olahraga, mereka akan
meragukan bahwa pelajaran tersebut merupakan pelajaran penting bagi dia. Sehingga
bakat tersebut akan terkubur dengan sendirinya karena yang ada di benak mereka
adalah bagaimana mereka bisa lulus dalam UAN tersebut. Dengan demikian
pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk
cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak
akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata
pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada mata pelajaran yang
diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata
pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan
terkekang karena dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula
metode pembelajaran yang seharusnya bisa disajikan secara menarik dan
dikembangkan sesuai dengan implementasi peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari tergantikan dengan metode drill latihan soal dan peserta didik
hanya “dicekoki” dengan bagaimana dapat menjawab soal-soal pada empat mata
pelajaran tersebut.
Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan
kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun
1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN dilaksanakan
bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat
yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis
sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah
termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UAN telah membuat otonomi sekolah menjadi
terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari
pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal
pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan
perencanaan pendidikan yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi
lain, dengan adanya kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa
adalah sekolah melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah. UAN telah
dijadikan alat untuk “menghakim” siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena
dengan memberikan batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan nilai serendah
itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan
sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4
dapat diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal
secara umum pada bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk
dinyatakan cukup atau baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain
menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat rendah telah “menghakimi” semua
siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana
serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.
III.3 Evaluasi Pendidikan Seharusnya dan
Meluruskan Kebijakan
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UAN banyak bertentangan dengan
evaluasi pendidikan bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit
dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN
maka selama itu perdebatan dan ketidakadilan akan terjadi di dunia pendidikan
karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya
diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat
pada anak, artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki
anak. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UAN sama artinya menganggap
semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan,
padahal kenyataannya berbeda.
Sebaiknya, evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem
penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes
masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah
akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang
berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang
bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan
lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan
masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam
menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah
berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UAN akan berakibat pada
manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya
sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan
nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah
berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib
belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus
juga diterima di sekolah berikutnya. Selain itu sistem evaluasi yang diserahkan
sepenuhnya ke sekolah juga diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman
untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan petunjuk bagi guru
agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang
berlaku secara umum.
Apabila UAN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus
dimodifikasi dimana UAN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi
dipakai sebagai pengendalian mutu pendidikan. Artinya UAN tidak perlu dikaitkan
dengan kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada
umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai UAN haruslah minimal 6
sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah. Bila
suatu evaluasi mengacu pada hal tersebut di atas maka UAN bukanlah suatu
kebijakan yang patut dipertentangkan lagi.
Oleh karena itu agar didapat suatu kebijakan nasional yang utuh tentang
sistem penilaian pendidikan maka pemerintah dapat melakukan langkah perumusan
ulang kebijakan UAN dan sistem penilaian tersebut secara komprehensif dengan
melakukan pelurusan kebijakan-kebijakan tersebut. Adapun langkah-langkah yang
dapat ditempuh antara lain pembentukan Tim Perumusan Kebijakan Nasional tentang
Penilaian Pendidikan. Tim ini bisa dibentuk oleh Depdiknas yang BSNP menjadi leading
sectornya dan anggotanya bisa berasal dari elemen-elemen masyarakat
pendidikan, termasuk juga DPR Komisi Pendidikan, para pakar pendidikan,
organisasi profesi independen seperti PGRI, LSM pendidikan dan sebagainya.
Kemudian tim tersebut dapat melakukan evaluasi dan kajian terhadap semua
kebijakan yang terkait dengan penilaian pendidikan di negeri ini misalnya
dengan melakukan studi banding ke negara lain untuk mencari model yang sesuai
dengan Indonesia dan kemudian merumuskannya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku serta melaporkan hasil kerjanya kepada
Pemerintah. Hasil dari kegiatan kajian tersebut akan menghasilkan butir-butir
rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam bidang penilaian
pendidikan. Adapun kajian-kajian yang dilakukan tersebut dapat berupa substansi
seperti :
1. Pelaksana tugas penilaian, seperti penilaian formatif, sumatif dan
ujian akhir serta berbagai jenis penilaian lainnya dari tinggkat dasar sampai
perguruan tinggi
2. Pengembangan model-model ujian akhir, penentu kelulusan atau tamat
sampai dengan kemungkinan menggunakan ujian akhir online (online assessment)
perlu diantisipasi dalam era teknologi informasi.
3. Bentuk-bentuk laporan pendidikan seperti rapor, sistem peringkat,
sistem pemberian skor atau nilai.
4. Apakah diperlukan adanya standar kelulusan sebagimana telah
ditetapkan dalam PP tentang Standar Nasional Pendidikan?
5. Dan masih banyak yang lainnya yang perlu dikaji secara mendalam.
Proses kajian dan evaluasi tersebut akan menghasilkan rekomendasi yang
akan menjadi pegangan utama pemerintah untuk merumuskan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP).
Terakhir, pemerintah mengeluarkan PP atau setidaknya Peraturan Menteri
tentang sistem penilaian pendidikan tersebut, untuk kemudian dilaksanakan
dimana PP ini secara komprehensif akan mengatur tentang hal-hal sampai yang
terkecil. Setelah PP dapat diterbitkan maka kebijakan itu harus dilaksanakan
secara konsekuen dan konsisten.
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Begitu banyak pertentangan tentang kebijakan UAN dengan model evaluasi
pendidikan yang seharusnya, tujuan pendidikan nasional maupun dengan tujuan UAN
itu sendiri. Dimana kebijakan UAN kontra produktif bagi pendidikan nasional dan
tujuan yang ingin dicapai menjadi gagal total bahkan hanya menimbulkan masalah
baru. Kecurangan sistematik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi
pendidikan nasional tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid dan juga
kreativitas murid terkungkung karena perhatian dan porsi pembelajaran lebih
besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan
sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas dan mandiri
serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi.
Oleh karena itu pemerintah harus mengkaji ulang tentang kebijakan UAN
ini atau memberikan kepercayaan kepada tim agar dapat melakukan kegiatannya
secara optimal. Dengan cara demikian maka perumusan kebijakan nasional
pendidikan akan berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat dan menghasilkan
kebijakan yang tepat bagi perkembangan bangsa dan Negara di masa mendatang.
IV.2 Rekomendasi dan Saran
- Pemerintah Perlu mengevaluasi kebijakan UN/UAN agar sesuai dengan
tujuan pendidikan dan kondisi masyarakat Indonesia yang beragam sehingga
standarisasi pendidikan tidak lagi bersifat diskriminatif.
- Pada makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
kekeliruan. Oleh sebab itu diharapkan ada penelitian lanjutan tentang
kajian ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Detik.com
Gunawan, Ary H. 1986. Kebijakan-kebijakan Pendidikan di Indonesia,
Jakarta: Bina Aksara, Jakarta: Bina Aksara.
Harti, Yuli. Masih Perlukah
Ujian Nasional?. Dalam http://guruvalah.20m.com/kontoversi_ujian_nasional.html.
diakses 09/05/2011 08.15
Kompas.com
Koran Kompas, April-Mei 2011
Undang-undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Miaso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rachmawati, Rina. 2008. Rp
90 Miliar untuk Program SMP Terbuka, Jakarta:(http://www.tempointeraktif.com .
Diakses tanggal 10 Mei 2011)
Sudrajat, Akhmad. Seputar
Pro-Kontra Kebijakan Ujian Nasional. Dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/11/28/seputar-pro-kontra-kebijakan-ujian-nasional/.
diakses 09/05/2011 08.41
Siahaan, Sudirman. 2008. Perkembangan Siaran Televisi Pendidikan,
Jakarta.
Tabrani, A. Rusyan, dkk. 1988. Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan
dan Pengajaran, Bandung:Remadja Karya CV.
UNSRI Jurnal: Landasan Kebijakan Pemerintah dalam Teknologi
Pendidikan http://blog.unsri.ac.id/userfiles/tUGAS%20PAK%20FUAD%201(1).doc
diakses 09/05/2011 08.15
Wardoyo, Cipto. Anomali
Kebijakan UN. Dalam http://edukasi.kompasiana.com/2010/04/26/anomali-kebijakan-un/.
diakses 09/05/2011 08.23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar