AGAMA
DAN STRATIFIKASI SOSIAL
Makalah
TUGAS KELOMPOK
Mata
Kuliah: Sosiologi Agama
Dosen: Dra. Rosmiani, M.Si
![]() |
Candi Borobudur |
Anggota
Kelompok:
Syahid Ismail (090901043)
Berry L Tobing (0909010 )
Angeline Nathalia S (0909010 )
Putri (0909010
)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan YME atas rahmat-Nya sehingga kita bisa
tetap dalam kondisi prima untuk menjalankan kewajiban-kewajiban kita.
Selama proses penyusunan Makalah ini ada kendala-kendala yang dialami seperti
keterbatasan waktu, literatur dan pengetahuan yang kami miliki. Namun, selama
proses itu pula penulis mendapat banyak pelajaran dan pengetahuan baru karena
telah berusaha mengerjakan semaksimal mungkin.
Akhirnya kami berharap, Makalah ini
dapat dan layak untuk memenuhi tugas untuk mata kuliah Sosiologi Agama.
Kami sangat menyadari bahwa Makalah masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik-kritik yang konstuktif sangat dinantikan, untuk meningkatkan
etos kerja kami di masa yang akan datang.
Medan, 14 Maret 2011
KELOMPOK 13
Kelompok 13
Menurut
Soerjono Soekanto di dalam setiap masyarakat dimanapun selalu dan pasti
mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa
berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau
keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, diberbagai masyarakat sesuatu
yang dihargai tidakah sama. Sebagian pakar meyakini bahwa pelapisan masyarakat
sesungguhnya mulai ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama, dalam
masyarakat yang masih sederhana lapisan-lapisan masyarakat pada awalnya
didasarkan pada perbedaan seks, umur atau bahkan kekuasaan. Max Weber, dia
lebih menekankan mengenai lembaga sosial yang ada di agama itu sendiri, disini
menurutnya terjadi kerjasama secara timbal balik diantara semua lembaga sosial,
dan dalam kerjasama menunjukkan tentang betapa pentingnya lembaga agama dan
pengaruhnya atas semua lembaga sosial lainnya.
Agama dan
pelapisan sosial merupakan dua hal yang berbeda, namun tidak dipungkiri bahwa
dalam kehidupan beragama terdapat bukti-bukti adanya stratifikasi yang terjadi
dalam masyarakat beragama tersebut.
Dalam
kehidupan beragama keristen pada masa kegelapan terjadi dominasi Gereja
yang sangat kuat dimana gereja berkuasa atas apapun dengan mengatasnamakan
kekuatan Tuhan. Pada akhirnya semua warga tunduk sampai pada suatu kasus dimana
ada yang menentang kebijakan gereja ini, yaitu penentuan bahwa Bumi yang
mengitari matahari atau Matahari yang mengitari bumi. Seorang pemikir bernama
Galileo yang menentang pendapat itu dibakar hidup-hidup.
Sistem Kasta Pada Masyarakat Hindu: sistem ini yang paling terkenal dan paling
kaku sehingga jika seseorang itu sudah berada pada kasta bawah sangat sulit
atau bahkan tidak mungkin baginya untuk naik kasta. Adapun susunan kastanya
adalah: Ksatria (raja-raja), Brahmana (agamawan), Waisya (Pedagang), Sudra
(Pekerja kotor/Buruh). Wells menyebut Kasta-Kasta ini dengan berkata “setelah
kedatangan bangsa Arya mesyarakat hindu telah terbagi kedalam kasta-kasta yang
satu sama lain tidak saling mewakili, tidak berkeberatan, dan tidak bergaul
dengan bebas.
Stratifikasi pada Masyarakat Islam: Islam tidak mengenal stratifikasi sosial
seperti dikatakan dalam alquran “bahwa setiap manusia dihadapanKu sama dan yang
membedakannya adalah kadar ketaqwaannya saja”. Namun, dalam kehidupan
masyarakat Islam ditemukan juga pelapisan-pelapisan sosial. Dalam stratifikasi sosial
masyarakat muslim Jawa, terdapat sebuah model stratifikasi yang sangat populer,
yakni model trikotomik cetusan Clifford Geertz. Model trikotomik Geertz
menggolongkan masyarakat Mojokunto, Kediri yaitu santri, abangan dan priyayi,
dimana:
Santri, berpusat di daerah perdagangan
atau pasar. Golongan ini berusaha mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan
unsur-unsur kepercayaan lainnya.
Abangan, berpusat di daerah pedesaan.
Pengalaman keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan animisme.
Priyayi, berpusat di kantor pemerintah.
Pengalaman agama mereka banyak dipengaruhi aspek-aspek Hindu.
[OLEH: Syahid Ismail 090901043; Berry L
Tobing (0909010 ); Angeline Nathalia S (0909010 ); Putri (0909010 )]
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Dari
catatan sejarah kita dapat mengetahui bahwa selama perkembangan manusia, mulai
dari masa kegelapan Eropa, zaman Hindu budha sampai ke masa Islam di Jawa
terdapat pelapisan dapam masyarakat atau sering disebut stratifikasi sosial.
Agama, dalam hampir semua pembagian stratifikasi yang ada di masyarakat,
merupakan sarana yang efektif untuk
menerapkan doktrin terhadap masyarakat agar tidak berkata “tidak”
terhadap sistem stratifikasi yang dibuat
oleh orang-orang yang berkepentingan.
Hal
ini kemudian menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut. Apakah di dalam agama memang benar terdapat konsep
stratifikasi? Ataukan stratifikasi yang mengatasnamakan agama hanyalah
dijadikan alat untuk memperoleh keuntungan sebagian pihak? Apa saja dampak
agama terhadap tumbuh kembangnya stratifikasi di masyarakat?
BAB II
KERANGKA TEORITIS
II.1
Stratifikasi Unsur, Sifat dan Perspektif
Jika kita pernah membayangkan tentang orang-orang yang sanggup membeli
rumah mewah tentu adalah mereka yang kaya dengan gaji jutaan atau bahkan puluhan
juta perbulan, sedangkan jika kita meihat rumah di pemukiman-pemukiman kumuh
atau disamping rel-rel kereta api pasti pikiran kita tertuju pada pekerjaan
yang serabutan atau apa adanya bahkan mungkin kita menganggap mereka tidak
memiliki pekerjaan satu apapun. Dari pengamatan singkat seperti itu disadari
atau tidak kita mulai menggolongkan mana orang itu yang kaya dan mempunyai
rumah mewah dan mana itu orang yang miskin yang mempunyai rumah kumuh, dan
ketika kita membedakan antara orang satu dengan orang yang lainnya maka kita telah
melakukan suatu pengorganisasian kemampuan dimana ada orang dengan kemampuan
yang tinggi dan orang yang berkemampuan rendah. Hal inilah yang dinamakan
stratifikasi sosial dimana masyarakat memberikan lapisan, tingkatan atau kelas
secara vertikal terhadap orang-orang yang ada di sekitar mereka. Bahkan kita
juga telah menyadari bahwa perbedaan yang ada dalam masyarakat tidak cuma dalam
hal yang berbentuk materi saja melainkan juga perbedaan dalam aspek-aspek yang
lain, seperti perbedaan dalam hal pemilikan kekuasaan, status atau kehormatan.
Pendek kata sepanjang dalam masyarakat itu terdapat sesuatu yang langkah dan
diperebutkan, maka sepanjang itu pula akan muncul stratifikasi sosial.
Menurut Soerjono Soekanto di
dalam setiap masyarakat dimanapun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang
dihargai. Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu
pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau keturunan dari keluarga tertentu
yang terhormat, diberbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidakah sama.
Sebagian pakar meyakini bahwa pelapisan masyarakat sesungguhnya mulai ada sejak
masyarakat mengenal kehidupan bersama, dalam masyarakat yang masih sederhana
lapisan-lapisan masyarakat pada awalnya didasarkan pada perbedaan seks, umur
atau bahkan kekuasaan. Pitirim A. Sorokin mengemukakan stratifikasi sosial
adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat
atau hierarkis, perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas
rendah, selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam
masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban,
kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara
anggota-anggota masyarakat.
Stratifikasi sosial juga lebih
berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok-kelompok bertingkat dalam suatu
masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hak-hak
istimewa yang tidak sama dengan kelompok yang lainnya, secara rinci ada tiga
aspek yang merupakan karakteristik strifikasi sosial yaitu:
1. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan.
Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi tentu memiliki
kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan anggota
masyarakat yang dibawahnya.
2. Perbedaan dalam gaya hidup.
Cara berpakaian seorang direktur atau presiden akan sangat berbeda
dengan gaya berpakaian para tukang becak atau pembantu rumah tangga, hal ini
bukan semata-mata untuk penampilan saja, tetapi lebih mengarah pada tuntutan
pekerjaan, coba kita bayangkan apa yang terjadi andai saja seorang direktur
ataupun presiden tidak berpakaian rapi selayaknya biasanya, pasti pamor mereka
akan turun sebagai golongan strata tinggi.
3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya.
Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak
dan fasilitas yang diperolehnya, hal ini akan mempermudah mereka memenuhi
segala apa yang mereka butuhkan, yang tentu saja hal ini tidak dapat dinikmati
oleh pegawainya.
Dalam teori sosiologi,
unsur-unsur sistem pelapisan sosial dalam masyrakat adalah kedudukan dan peran,
dimana disamping unsur pokok dalam sistem stratifikasi sosial, juga mempunyai
arti yang sangat penting bagi system sosial masyrakat. Status menunjukkan
tempat atau posisi orang dalam masyarakat, sedangkan peranan menunjukkan aspek
dinamis dari status, yaitu merupakan tingkah laku yang diharapkan dari
seseorang individu yang menduduki status tertentu. Dan untuk penjelasan lebih
lanjut berikut merupakan pengertian secara konkrit dari Kedudukan dan peran.
II.2 Agama dalam Kajian Sosiologis
Dalam kajian sosiologis agama
diartikan sebagai gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat
yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam
kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga
bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping
unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan berbagai kewajiban,
ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut agama,
bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa
ketaatan itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang kalah perang kepada
pihak yang menang perang, ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya tidak bisa
disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil studi para ahli
sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang
harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai
hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang
ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.
Berikut merupakan pendapat para
tokoh mengenai agama yang otomatis apa yang mereka katakan tidak terlepas pada
keyakinan mereka mengenai agamanya masing-masing:
1. Max Weber, dia lebih menekankan mengenai lembaga sosial yang ada di agama itu
sendiri, disini menurutnya terjadi kerjasama secara timbal balik diantara semua
lembaga sosial, dan dalam kerjasama menunjukkan tentang betapa pentingnya
lembaga agama dan pengaruhnya atas semua lembaga sosial lainnya.
2. Cicero (abad 15 SM) dia adalah seorang pembuat hukum romawi, menurutnya agama
adalah anutan yang dihubungkan antara manusia dengan tuhan
3. Emmanuel Kant, dalam bukunya yang berjudul agama dalam batas-batas akal mengatakan
bahwa agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah tuhan.
4. Herbert Spencer, berpendapat bahwa factor utama dalam agama adalah iman akan adanya
kekuasaan yang tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas
waktu dan tempatnya.
Dari uraian tentang definisi agama di atas dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar ilmuan membatasi pengertian agama dalam bentuk yang hanya bisa
diterapkan pada agama-agama yang berdasarkan wahyu dari langit, yaitu
agama-agama tauhid yang didasarkan pada keyakinan tentang adanya Tuhan Yang
Maha Esa.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1. Stratifikasi Sosial dalam Agama
Hubungan antara tingkat keberagamaan dan kedudukan dalam masyarakat dan
struktur sosial, dan antara sifat keyakinan keagamaan dan kedudukan kelas sosial,
telah dibicarakan secara intensif dan diperdalam selama ratusan tahun. Agama
dan pelapisan sosial merupakan dua hal yang berbeda, walaupun demikian,
membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topik tetap akan mempunyai
aspek-aspek positif dalam kajian akademis. Demokrasi sepertinya menjadi
cita-cita seluruh bangsa. Ada beberapa elemen yang menentukan suasana demokrasi
yaitu antara lain budaya yang di dalamnya termasuk agama, penilaian atas agama
dalam kaitannya dengan proses demokrasi, mesti dilakukan secara hati-hati agar
tidak terjadi salah menyimpulkan, demikian juga dengan kelas sosial, apakah
agama bisa menjadi faktor penentu dalam bentuk kelas sosial dalam tatanan
masyarakat yang mana sangat dipengaruhi oleh interpretasi manusia atas agama,
memang kita tidak bisa memungkiri bahwa sekat-sekat sosial kerapkali
menimbulkan masalah sosial.
Dan berikut merupakan penggambaran
stratifikasi soisial dalam agama:
1. Zaman Kegelapan, Filsafat Abad Pertengahan
Zaman ini merupakan zaman paling
buruk dalam sejarah filsafat, dimana kekuasaan gereja sangat besar bahkan
melebihi kekuasaan raja atau pemimpin Negara pada saat itu, pada essensinya
sejak masa dulu gereja memang tidak pernah ditempatkan dalam sebuah struktur sosial,
dikarenakan karena gereja yaitu bentuk manifestasi dari agama Kristen protestan
atau katolik yang menurut mereka tidak bisa dimasukkan pada struktur sosial
dalam masyarakat karena fokusnya yaitu dalam ranah hubungan manusia dengan
tuhan, tetapi apakah dengan tidak masuk ke dalam struktur sosial mereka ini
posisi mereka menjadi tidak penting? justru posisi gereja pada hakekatnya
berada tepat dibawah kekuasaan kerajaan karena kebanyakan para pastur merupakan
penasehat kerajaan.
Tetapi yang terjadi pada zaman
ini justru sebaliknya, gereja memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan segala
apapun, siapapun, dan kapanpun itu, dengan menggunakan kekuatan tuhan sebagai
pelaksana kekuasaan mereka, apapun yang dikeluarkan gereja pada saat itu tidak
boleh dilanggar oleh satu orang pun karena itu adalah perintah dari tuhannya,
begitu pula dengan filsafat dan pengetahuan, apa yang dikatakan oleh pihak
gereja merupaka suatu kebenaran yang mutlak dan tidak boleh ditentang, posisi
pastur pada saat itu tertinggi dalam struktur vertikal lapisan masyarakat.
Pada akhirnya semua warga tunduk
sampai pada suatu kasus dimana ada yang menentang kebijakan gereja ini, yaitu
penentuan bahwa Bumi yang mengitari matahari atau Matahari yang mengitari bumi,
pada saat itu dari pihak gereja mengeluarkan ajaran bahwa Matahari mengitari
bumi dengan Surga dan neraka yang berada diatas dan dibawahnya, karena yang
menjadi acuan mereka yaitu hanya dengan melihat perputaran matahari dari pagi
yang muncul di timur dan tenggelam di barat pada sore harinya.
Tetapi pendapat ini ditentang
oleh seorang pemikir besar yang bernama Galileo, menurutnya Bumilah yang
mengitari Matahari, toh pada essensinya itu merupakan suatu kebenaran tetapi
pihak gereja tidak dapat menerima itu, dia dihukum dibakar hidup-hidup karena
telah menentang gereja, hal inilah yang menyebabkan kemandegan dari para
pemikir barat pada saat itu karena kekuasaan gereja yang begitu besar, dan
bukan lain hal ini disebabkan semata-mata ketika suatu golongan memiliki hak
yang istimewa yang tidak di dapatkan orang lain pada umumnya maka dia bisa
bertindak apapun yang diingnkannya.
2. Sistem Kasta Pada Agama Hindu
Seperti yang kita ketahui bersama
bahwa sistem ini yang paling terkenal dan paling kaku sehingga jika seseorang
itu sudah berada pada kasta bawah sangat sulit sekali atau bahkan tidak mungkin
baginya untuk naik kasta, asal mula kasta di agama hindu ini bermula di India
sebagai hasil pertemuan bangsa Arya dengan bangsa Turan dan Bumiputera, “bangsa
Arya adalah suatu bangsa yang mempunyai kecerdasan dan gerak laku hidup atas
penduduk asli, mereka benar-benar percaya terhadap ketinggian bangsa mereka di
atas bangsa-bangsa yang lainnya, kata “Arya” yang dinamakan kepada mereka itu
berarti orang bangsawan.”
Menurut Prof. Atreya mahaguru
universitas Benares di India yang berpendapat bahwa orang-orang hindu mengatur
kehidupan sosial mereka dengan berdasarkan kasta-kasta yang mereka namakan
Chatur Varn, peraturan ini pula dapat ditegakkan atas asas pemilihan kerja dan
tidak ada hubungan dengan asas-asas bangsa yang sangat dibenci dan dialami oleh
negeri India yang lahir dari pemerintahan asing yang menetap beberapa abad,
tujuan peraturan kasta tidaklah semata-mata untuk memecahbelah masyarakat,
tetapi justru menyatukannya atas asas pembagian kerja, karena dalam kalangan
manusia ada sebagian yang gemar akan ilmu pengetahuan lalu mereka dibiarkan
dengan ilmu pengetahuannya dan terus membentuk golongan Brahmana, bagian yang
kedua kegemarannya adalah pemerintahan, kekuasaan dan peperangan mereka inilah
yang membentuk golongan ksatria, golongan ketiga yaitu golongan yang gemar akan
harta benda, kemudian membentuk golongan pedagang dan petani atau yang disebut
dengan Waisya, bagian tidak layak apa-apa kecuali melakukan pekerjaan hina dan
semata-mata menjadi budak dari mereka ini terbentuk golongan Sudra.
Wells menyebut Kasta-Kasta ini
dengan berkata “setelah kedatangan bangsa Arya mesyarakat hindu telah terbagi
kedalam kasta-kasta yang satu sama lain tidak saling mewakili, tidak
berkeberatan, dan tidak bergaul dengan bebas. Kemudia pembagian kasta ini
berjalan terus sepanjang sejarah”. Wells juga menyebutkan bahwa peraturan
kasta-kasta mulai ada dan lahir ketika awal pencampuran yang membuka jalan bagi
pembentukan suatu masyarakat yang dipadukan dari unsur-unsur yang berlainan
ini. Jadi peraturan kasta-kasta adalah suatu jalan untuk memelihara kemurnian
darah bangsawan yang dikhawatirkan bercampur dengan jenis-jenis bangsa yang lainnya.
Menurut beberapa pemikir yang
berpendapat bahwa kasta-kasta ini dijadikan oleh tuhan sedemikian rupa maka
jadilah pembagian ini kekal abadi dikarenakan ini semua merupakan perbuatan
tuhan dan tidak ada jalan untuk menghapuskannya. Dengan latar belakang ini
seseorang tidak boleh naik dari suatu kasta ke kasta lain yang lebih tinggi.
Dan berikut penjelasan dari golongan kasta-kasta tersebut,
a. Golongan Brahmana
Golongan ini berkewajiban mempelajari kitab-kitab weda dan
mengajarkannya pada kaumnya, juga memberkati pemberian-pemberian korban yang
hanya diterima melalui mereka dan wajiblah seorang brahmana memelihara
undang-undang umum dan agama. Apabila seorang brahmana lahir dia diletakkan
dibarisan yang pertama sekali dalam barisan-barisan keduniaan, seorang brahmana
menerima penghormatan dari semua tuhan adalah karena keturunannya.
Hokum-hukumnya menjadi landasan hokum di alam ini dan kitab suci itulah yang
memberinya keistimewaan ini, semua yang ada di alam ini adalah milik brahmana,
karena seorang brahmana berhak atas segala apa yang terwujud. Seorang brahmana
apabila berkehendak, dia berhak memiliki harta benda sudra yang menjadi hamba
kepadanya dengan tidak dihukum oleh raja karena perbuatannya itu, hamba dan
segala miliknya adalah kepunyaan tuannya. Seorang brahmana tidak dikotori oleh
dosa sekalipun dia membunuh tiga golongan itu, raja tidak boleh mengenakan
pajak atas seorang brahmana yang sedang mempelajari kitab suci, raja janganlah
membunuh seorang brahmana sekaipun dia melakukan berbagai kesalahan besar dia
hanya boleh diusir dari kerajannya.
b. Golongan Ksatria
Orang-orang yang telah memperkaya akal pikirannya dengan kitab-kitab
Weda dan sebagainya, mereka dari golongan inilah yang layak menjadi
pemimpin-pemimpin tentara, atau raja-raja atau hakim-hakim bagi sekalian
manusia. Raja diangkat dari golongan ksatria, Raja janganlah direndahkan
sekalipun dia masih kecil, seorang ksatria tidak boleh terlepas dari tugas
ketentaraan. Seorang ksatria hidup sebagai seorang prajurit meskipun dimasa damai,
raja harus selau menyediakan perlengkapan perang mereka, dan mereka harus
selalu siap berperng bilsa sewaktu-waktu dipanggil raja
c. Golongan waisya
Seorang waisya haruslah kawin dengan perempuan dari golongannya juga,
haruslah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pekerjaannya, dan
senantiasa memelihara binatang ternak, seorang waisya hendaklah mengetahui
betul-betul metode dalam pertanian, dari penanaman sampai penjualannya.
d. Golongan Sudra
Seorang Sudra sedapat-dapatnya haruslah mematuhi perintah golongan
Brahmana yang menjadi pemuka yang arif akan kitab-kitab suci dan terkenal
dengan sifat-sifat yang mulia. Dengan kepatuhan ini diharapkan ia diberi
kebahagiaan sesudah matinya dengan suatu penghidupan baru yang lebih tinggi
lagi. Tidak patut seorang sudra mengumpulkan harta yang berlebihan sekalipun
mereka mampu melakukan hal demikian, seorang sudra seandainya mengumpulkan
harta maka ia telah menyakiti golongan brahmana karena tindakannya itu kotor,
anak golongan rendah yang berniat untuk menyamakan diri dengan golongan yang
lebih tinggi dari golongannya haruslah ditolak dan diberi tanda di bawah
pangkal pahanya, tangannya hendaklah dipotong sekiranya dia mengangkat tangan
atau tongkatnya ke atas orang yang lebih tinggi dari padanya, dan dipotong
kakinya sekiranya dia menendang dengan kakinya itu, seandainya dia memanggil
dengan menggunakan nama atau nama golongannya dengan tidak memperlihatkan rasa
hormat maka dimasukkan kedalam mulutnya sebilah pisau panas bermata tiga yang
panjangnya sepuluh inci, dan raja juga memerintahkan supaya dituangkan minyak
panas kedalam mulut dan telinganya apabila menurut pendapat golongan brahmana
dia tidak lagi melaksanakan pekerjaan untuk mereka dengan baik.
3. Stratifikasi Sosial dalam Islam
Apakah ada? Islam pada zaman Nabi
masih menggunakan perbudakan dalam hal mengerjakan pekerjaan yang kasar dan
berat, tetapi sistem kerjanya tidak seperti yang ditampakkan pada kasta Sudra
yang ada di agama Hindu, budak-budak yang ada di Islam pun bisa di bebaskan dan
dapat hidup normal pada sedia kala, budak-budak ini pada umumnya didapatkan
pada saat berperang dan tentara lawan yang kalah dalam peperangan pada umumnya
dijadikan sebagai budak, terus pertanyaannya apakah di agama Islam ada yang
dinamakan dengan stratifikasi sosial?, jawabanya sangat singkat dan paten Allah
SWT berfirman “bahwa setiap manusia dihadapanKu sama dan yang membedakannya
adalah kadar ketaqwaannya saja” dalam hal beribadahpun Islam tidak pernah
membedakan antara si kaya dan si miskin, si Tua dan si Muda dan lain
sebagainya, itu yang ada di dalam agama Islam, tetapi didalam masyarakat Islam
stratifikasi sosial tetap ada demi keteraturan suatu wilayah tersebut untuk
pembagian kerja menurut proporsi mereka masing-masing.
Hasil Penelitian Clifford Geertz Tentang Masyarakat Islam Jawa
Dalam stratifikasi sosial,
terdapat sebuah model stratifikasi yang sangat populer, yakni model trikotomik
cetusan Clifford Geertz. Model trikotomik Geertz menggolongkan masyarakat
Mojokunto, Kediri yaitu santri, abangan dan priyayi, dimana:
Santri, berpusat di daerah perdagangan
atau pasar. Golongan ini berusaha mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan
unsur-unsur kepercayaan lainnya.
Abangan, berpusat di daerah pedesaan.
Pengalaman keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan animisme.
Priyayi, berpusat di kantor pemerintah.
Pengalaman agama mereka banyak dipengaruhi aspek-aspek Hindu.
Trikotomi Geertz memang sejak awal membingungkan karena mencampuradukkan
aspek keberagaman dengan stratifikasi sosial dan dalam kenyataan tidak
sesederhana itu karena masing-masing terjadi konversi dan perbauran.
Pada akhirnya muncul dugaan, Geertz ingin menciptakan konsepsi untuk
memberikan substansi kepada teori kelas menengah. Golongan priyayi menempati
posisi teratas, kaum santri di bagian tengah, dan golongan abangan berada di
bagian bawah.
Tulisan Geertz sejak awal banyak
dikritik, antara lain:
1.
Harsya Bachtiar
Menurutnya, ketiga varian Geertz tersebut tidak bersumber pada satu
sistem klasifikasi yang sama. Dalam kenyataannya, tidak selalu demikian karena
ketiga varian ini adakalanya bercampur. Walaupun demikian, klasifikasi Geertz
sangat membantu untuk melihat sifat dan watak masyarakat muslim Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa. Oleh karena penggolongan religio-sosial tersebut
didasarkan pada pengalaman agama, maka yang digunakan biasanya konsep abangan
dan santri, sementara priyayi dipandang berada di tempat yang lain.
Klasifikasi santri-abangan
dilakukan berdasarkan pengalaman agama dan tampak secara horisontal. Sedangkan
priyayi (secara sosial), penggolongannya adalah vertikal. Dengan demikian,
menggabungkan ketiganya dalam satu klasifikasi adalah menyesatkan.
2.
Heffner, seorang antropolog dari Universitas Boston Amerika Serikat
Heffner lebih menyukai istilah Javanism daripada abangan karena tidak
semata-mata pada kepercayaan, tetapi juga institusi sosial.
3.
Ruth McVey
Mengomentari konsep trikotomik Geertz bahwa, "Dalam kenyataan,
pembagian tiga priyayi-santri-abangan didasarkan atas dua pembagian yang
termasuk susunan yang berlainan. Dalam hal kebudayaan pemisahan utama terjadi
antara ajaran Islam dan ‘agama Jawa’ yang dianut para priyayi-abangan yang
memasukkan pikiran pra-Islam ke dalamnya serta mewakili kebudayaan desa dan
keraton di Jawa pedalaman, dalam mempertahankan diri terhadap kekuasaan Islam
yang telah melangkah maju dalam sejarah. Dilihat dari pendirian ini maka
masyarakat Jawa terbagi menjadi dua -- bukan tiga bagian kebudayaan. Dan
sesungguhnya ini merupakan pembagian dua atas golongan santri dan abangan".
Hingga kini, kedua golongan ini masih ada dan pengaruhnya begitu
mengakar dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa. Dalam perjalanan historisnya,
keduanya merupakan unsur-unsur penting dalam proses perubahan sosial, politik,
dan agama di Indonesia. Dalam keadaan demikian, santri dan abangan memiliki
dampak yang berarti bagi kehidupan sosial, politik dan beragama di Indonesia.
Tidaklah berlebihan bila Emerson mengatakan bahwa penggolongan santri-abangan
merupakan favorit topik bagi para pengamat politik Indonesia.
Dari pemikiran Geertz tersebut,
Herbert Feith kemudian menderivasi menjadi lima aliran pemikiran politik di
Indonesia yang dipengaruhi oleh Hindu, tradisionalisme Jawa, Islam serta Barat
ke dalam ideologi komunisme (PKI), nasionalisme radikal (PNI), sosialisme
(PSI), Islam (NU dan Masyumi) dan Tradisionalisme Jawa.
Saat ini, terdapat pengelompokan abangan-santri secara horisontal
(berdasarkan pengamalan keagamaan) dan priyayi-wong cilik secara vertikal
(berdasarkan karena adanya konvergensi sosial). Terjadi mobilitas sosial dari
wong cilik ke atas, dan sebaliknya dari priyayi ke bawah. Sementara itu,
golongan santri dan abangan telah membuka diri sehingga terjadi proses saling
mengisi. Akibatnya, batas-batas kultural di antara mereka sulit dikenali lagi.
Bahkan di tengah kebangkitan dan antusiasme Islam akhir-akhir ini menimbulkan
fenomena "santrinisasi" kelompok abangan & sekuler, bahkan
sebagian dari mereka mengeras menjadi "neo fundamentalisme".
Banyak lagi contoh-contoh kasus
yang semisal di atas tetapi pada essensinya tetap sama agama sekalipun tidak
pernah membeda-bedakan umatnya yang menjadikan sistem itu adalah
manusia-manusia itu sendiri yang membawa kekuatan agama yang diyakini
masyarakat secara eksklusif untuk melancarkan kepentingan segolongan orang
untuk mempunyai kekuasaan dan wewenang serta hak istimewa yang tidak dimiliki
oeh masyarakat yang lainnya.
III.2 Analisis Data
Pada hakekatnya pelapisan sosial
dalam masyarakat sangat penting adanya untuk pembagian kerja yang sesuai dengan
kemampuan mereka masing-masing, tetapi akan menjadi sangat tidak stabil jika
hal ini digunakan untuk meraup keuntungan dan kekuasaan sebanyak-banyaknya dan
sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri, inilah yang sering kali terjadi dan
menimbulkan konflik di dalam masyarakat ketika dianggap pelapisan sosial yang
terjadi di monopoli sedemikian hingga sampai merampas hak-hak yang ada di dalam
masyarakat, tetapi apa yang terjadi jika pelapisan itu juga dengan menggunakan
kekuatan tuhan, ternyata hal ini sangat berhasil, dimana agama sebagai sesuatu
yang harus diyakini dan diamalkan tanpa ada pertanyaan kenapa, sehingga mereka
yang mengatasnamakan diri mereka wakil tuha di dunia atau orang paling suci
dengan menggunakan kekuatan tuhan dia mengendalikan masyarakat dibawah
kekuasannya.
Dalam teori stratifikasi
konfliknya Randall Collins sangat tidak setuju dengan para penguasa yang
menggunakan kekuatannya untuk keuntungan pribadinya yang mana seharusnya itu
untuk kemaslahatan masyarakat, kekuasaan yang begitu besar menempatkan
seseorang sebagai raja di muka bumi ini, padahal pada essensinya seperti yang
kita kethui bersama kita sama-sama sebagai manusia yang dikatakan makhuk yang
paling sempurna dan oleh karena itu pula kita memiliki kekurangan dan kelebihan
di dalam diri kita masing-masing tidak menutup kemungkinan dia seorang raja
atau seorang pengemis.
Dilanjutkan dengan teori Otoritas
milik Ralph Dahrendorf, dimana menurutnya otoritas merupakan sumber konflik dan
perpecahan yang ada di dalam masyarkat, jika kekuasaan itu tidak pada tangan
yang tepat, eksistensi seorang pemimpin yang memerintah dan seorang hamba yang
diperintahnya akan menimbulkan suatu perasaan ketidakadilan dan kecemburuan
social di hadapan mereka.
BAB IV
SIMPULAN
Jadi pada akhir pembahasan
kita sebenarnya tidak ada yang dinamakan pelapisan sosial yang ada dalam agama
manusialah sendirilah yang membuatnya dengan menggunakan kekuatan Tuhan untuk
menundukkan masyarakat yang meyakini agamanya secara kuat di dalam hatinya.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto,
Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Ridwan,
Muhtadi. Stratifikasi Sosial Masyarakat Jawa. blog.uin-malang.ac.id Diposting tgl 16 Juni 2010, diakses tgl 14
Maret 2011 pkl 20.00 wib
Stratifikasi dan Agama. http://kabelzgank.blogspot.com diposting
tgl 30 November 2010, diakses tgl 14
Maret 2011 pkl 20.00 wib
Enik. Agama dan Stratifikasi. enikkirei.multiply.com/journal. Diposting
21 Februari 2008, diakses tgl 14 Maret 2011 pkl 20.00 wib
thanks for this articel.
BalasHapusgoood job!!
helps me to do my task :)
terima kasih, artikelnya sangat membantu
BalasHapusreferensinya dari mana?
BalasHapus