Sudah dua tahun
lewat saya mondar-mandir di Padang Bulan, mulai dari kebiasaan abang becak yang nangkring di kedai tuak, ibu-ibu yang all out dalam sesi-sesi gossip di kedai
nasi, sampai kebiasaan tikus lewat melompati pagar masjid, semua itu terekam
apik dalam bergiga-giga memori otak saya. Memori ini akan menguap dan hilang
jika langkah saya sudah tidak lagi di sini, saya paham bahwa dalam akal waras
manapun hal ini tidaklah penting untuk digoreskan menjadi sebuah tulisan. Tidak
ada hal yang akan membuatnya menjadi sesuatu yang menarik untuk dibaca.
Namun, Subuh ini
menjadi inspirasi bagi saya untuk melukiskannya. Walaupun saya sadar betul
bahwa dalam kamus saya tidak pernah akrab dengan yang namanya sajak-sajak dosis tinggi. Bagi saya, setiap keindahan
larik dalam sajak-sajak hanyalah arak yang menghalusinasi manusia dari realita
yang harus dihadapi. Setiap membuka mata di pagi hari, yang akan saya hadapi
adalah realita, bukan lakon novel, syair, ataupun alur hidup yang seindah puisi
para pujangga.
Bisa saja saya
merupakan satu diantara seratus orang di sini yang berusaha berlomba dulu-duluan bersama sang fajar untuk
menjumpai raja malam sebelum ia beranjak dari singgasananya. Maka dalam
prespektif saya masih banyak anak adam dan hawa yang belum tahu-menahu tentang Padangbulan Subuh. Itulah
pentingnya saya bercerita.
Teringat dengan
potongan puisi yang saya hafalkan saat SD “Di
ufuk timur dia muncul….. burung-burung berkicau riang, berterbangan kian kemari….”
Itulah indahnya pagi saat kehidupan berdenyut kembali. Padangbulan, saat
azan subuh berkumandang, sejarahnya saat itulah geliat kehidupan bangkit dari
peraduan malam. Saya tidak melihatnya di sini, untuk saat ini, hanya kaum renta
yang selalu tampak sigap beribadah subuh di masjid kecil, disusul beberapa anak
muda yang kelihatannya mahasiswa. Alhasil shaff sahalat pun tidak mencapai satu
penuh.
Saya bahkan
kesulitan mencari jejak para aktivis kampus dalam detik-detik itu, “entah mungkin karena ku terlena, pada
semua yang Kau beri, padahal diriku terlalu sering, membuat Mu kecewa” dari lirik nasyid itu mungkin saya
mendapatkan sedikit jawabannya. Baiklah, perjuangan untuk negeri yang lebih
baik itu, tidak dimulai dengan menduduki kursi eksekutif di kampus ataupun
pemerintahan. Atau dari koar-koar kita di sebuah mushola dan menjadi manusia
setengah merbot. Tidak juga dimulai dengan menyerang lokalisasi malam hari.
Saya bukan
mengabaikan hal-hal besar itu, tapi hal kecil ini membawa efek yang terlau
besar untuk dilupakan. “ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” (Di depan memberi
teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Aktivis
adalah orang-orang yang di depan, maka selayaknya memberi teladan buat manusia
pada umumnya, dimulai dari menghidupkan subuh hari. Bukan bersembunyi dari
fajar yang menyapa, tidak akan terulang lagi yang namanya kisah ashabul kahfi, pemuda yang dimulyakan
karena tidurnya yang sangat lama.
##
Tanpa suara
terlontar dari mulut seorang pun, tidak lagi tersadar untuk menyelamatkan
tetangga, teman, bahkan saudara sekalipun. Ketika itu, tepat saat azan subuh
dikumandangkan muazin masjid terdekat, asrama berlantai 4 menumpahkan seisinya
yang masih tertidur pulas. Goyangan gempa itu mungkin adalah nasihat, tapi bisa
jadi itu adalah peringatan keras buat kita. Kesadaran betul-betul hilang saat
harus melewati tangga kecil yang rapuh dari lantai tiga. Berdesak-desakan
dengan orang-orang yang sepertinya juga tengah kehilangan akal sehatnya, satu
hal yang terpikirkan ketika itu, bagaimana menyelamatkan diri sendiri ke tempat
yang aman.
Beberpa waktu
lalu di kos-kosan saya terjadi kehilangan laptop dan telepon genggam, tepat
beberapa saat setelah subuh, ada orang menyelinap masuk ke dalam kamar. Tidak
jauh berselang beberapa hari dari waktu itu, dua orang berkendara mio dipergoki
memasuki gang buntu, dua orang itu sudah jelas-jelas ingin mencuri kereta
(red-motor, dalam bahasa saya), mereka berdua hampir dihakimi massa yang
terbangun mendengan teriakan imam masjid saat meneriaki maling. Itu terjadi
bada sahalat subuh juga.
Subuh di waktu
yang lain, saya pulang dari masjid dan duduk di depan laptop. Suara pintu depan
berdenyit dengan tiba-tiba, pertanda ada yang mendorongnya, saya tidak yakin,
jam segini belum tampak tanda-tanda kehidupan. Bagaimana mungkin ada yang
mendorong pintu yang susah didorong karena engselnya separuh berkarat. Kepala saya
dikeluarkan pelan-pelan dari pintu kamar di paling pojok, benar saja, tampak
sesosok menyerupai preman kampung. Celengak-celinguk ke kanan kiri, kamar
paling depan pintunya terbuka, dan saya tahu betul orangnya sedang tertidur
pulas.
Tidak tahu
kenapa, emosi saya langsung membuncah, saya berteriak “woi… apa-apaan ini?”
sontak sosok preman itu pura-pura mengetuk pintu, pertengkaran sengit pun
terjadi. Si maling kalang kabut,
kelihatannya dia pura-pura tegar. ##Jujur di sini tidak seramah di tempat
dimana saya dilahirkan, sebut saja ketika terjadi tabrakan sesama pengendara motor, efeknya adalah cepat-cepatan minta maaf. Berbeda dengan
di sini, besar-besaran suara, kalau tidak akan tergilas, itulah yang saya lakukan
di subuh ini. #
Introgasi penuh
emosional pun saya lakukan hingga maling itu terpojok, dia beralasan mau nanya
kos-kosan, lalu saya bantah kenapa harus nyari kos-kosan jam segini. Ditambahi dengan
menakut-nakuti bahwa kemarin ada orang seperti dia dipukuli di rumah
sebelah. Dia pun makin bingung, namun
melihat saya cuma sendiri dari tadi, dia menjadi berani, hanya satu teman kos
yang akhirnya terbangun dan datang ke Tempat Kejadian Perkara, selabihnya masih
pulas. Saya mati langkah mau diapakan ini orang, akhirnya saya putuskan
memeriksa KTPnya lalu di suruh pergi.
Subuh, harusnya
adalah detik-detik indah dikala insan bermunajat pada sang penguasa hati dan
perasaan. Padangbulan berkata lain, ketika insan itu tiada lagi peduli, giliran
kaki tangan iblis yang berkreasi menyesatkan manusia. Bukan tak sedikit
kejadian buruk terjadi di subuh hari, beberapa waktu lalu saya menemani rekan
yang mendapat telepon subuh-subuh, katanya tetangga ada yang diintai maling. Tapi kita masih saja terlelap.
@@@
Bangunlah….!!!
Bangunlah wahai pemuda, Bangun dan buanglah kemalasan. Bangkitlah!!! bangkitlah dan tinggalkan tidur panjang. Negeri
sudah menanti, rakyat sedang berharap…
Berharap pada pemudanya yang tahu akan hakikat dirinya. Jauhkanlah lambungmu
dari ranjang saat azan subuh berkumandang, tantanglah sang fajar untuk berlomba
menerangi seisi bumi. Engkau adalah matahari di siang hari, yang memberikan
pengidupan kepada seluruh mahluk, bukan magma di inti bumi yang hanya membawa
kehancuran.
Ini bukan
kata-kata yang baru keluar dari mulut saya, Allah telah berfirman dalam Alquran
surat Al-Mudattsir:
Wahai orang-orang yang
berselimut!
Bangunlah, lalu berilah
peringatan!
Dan agungkanlah Tuhanmu,
Dan bersihkanlah pakaianmu,
Dan tinggalkanlah segala
(perbuatan) yang keji,
Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi
dengan maksud memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
Dan karena Tuhanmu, bersabarlah,
Maka apabila sangkakala ditiup,
Maka itulah hari yang serba
sulit,
Bagi orang-orang kafir tidak
mudah.
Biarkan Aku (yang bertindak)
terhadap orang yang Aku sendiri telah menciptakannya
#Nb. Silangkan baca surat Al-Mudattsir sanpai akhir
###
Lari pagi,
beberapa kali saya menyempatkan diri untuk itu. mengitari kampus USU, tidak ada
yang bisa diajak karena ini terlalu pagi untuk jam biologis manusia masa kini. Udaranya
tidak cukup sejuk untuk yang dikatakan suasana pagi, saya yakin 100 tahun lalu
kondisinya tidak seperti ini. Di kota kembang juga saya terbiasa melarikan diri
ke perbukitan bersama kawan-kawan, suasananya penuh romantika, bukan untuk
membandingkan, itulah yang saya alami versi saya sendiri.
Orang-orang tua,
muda, kaya miskin, punya budaya lari pagi ba’da subuh, paling tidak ini
dilakukan di akhir pekan. Kondisinya pun mendukung, jalanannya sejuk, kendaraan
sengaja tidak banyak berlalu-lalang, di atas sana sambutannya pun tak kalah
menarik. Pasar di atas bukit, mulai dari mainan anak, susu segar, jagung rebus
segar dari pohon dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Itu memang lahan
pertanian sebetulnya, tapi tiap akhir pekan sengaja orang-orang berjualan di
sana sejak subuh karena untuk memanjakan para pelari pagi.
Lagi-lagi
Padangbulan punya ceritanya sendiri, terlau kasarkah kalau saya katakana ini
disebabkan individualisme manusianya. Masih banyak memang konsep paguyuban dijumpai,
tapi tetap saja terlalu jauh dari yang diharapkan. Mungkinkah kita telah
menelan bulat-bulat budaya kebarat-baratan yang sebetulnya tidak cocok sama
sekali dengan identitas lokal kita. Bukankah budaya orang kita selaras dengan bunyi asas koperasi “Kekeluargaan dan Gotong-Royong” bukan “sakarepe
dewe” |> (bahasa jawa saya betul gak? Hihihihi…
@@
Itulah cerita
subuh dari saya, saya belum terpikir untuk membuat cerita senja, saya khawatir akan terlalu mellow kalau saya menulis tentang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar