Mahasiswa dalam Sejarah, Realita, dan Imaji


Pelajar adalah mereka para aktor sejarah negeri ini, Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) pada 28 Oktober 83 tahun lalu disebut-sebut sebagai awal kebangkitan semangat Nasionalisme pemuda-pemudi Indonesia. Kemudian catatan terbesar negeri ini adalah perjuangan Proklamasi yang tentu saja dimotori oleh pemuda pelajar. Tiga belas tahun lalu, ketika kekuasaan dipelintir untuk kesewenang-wenangan, mahasiswa jugalah yang berani buka mulut meneriakkan suara pembebasan lewat reformasi 98.
Pemimpin yang lalim  akan ciut bila mahasiswa mulai turun ke jalan, rakyat miskin melihat secerca harapan saat mahasiswa menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Mahasiswa selalu berada di garda terdepan perubahan yang berani frontal, berteriak, berkorban, dan pasang badan demi hancurkan kezoliman, perjuangkan keadilan dan persatuan  meski berbeda aliran.
Sejak munculnya kalangan terpelajar yang merupakan buah dari politik etis Belanda, pelajar melejit menjadi kaum elit pada strata tatanan masyarakat Indonesia. Mahasiswa dipandang karena intelektualitas, indevendensi, dan kegigihannya dalam menciptakan perubahan-perubahan  ke arah positif dan mederenisasi. Tokoh-tokoh berpengaruh nasional dan agama bermunculan dari kalangan terpelajar ini. Singkatnya, ketika itu pelajar sebagai primadona yang selalu dinantikan karena dapat bergerak dalam satu kata dan cita-cita demi Indonesia.
Era boleh berubah, tapi mahasiswa tetaplah mahasiswa. keringat dan darah juang pemuda terdahulu kini acap kali hanya dijadikan bumbu penyedap diskusi dan orasi kecil-kecilan, dianggap hanya imaji yang tak mungkin kembali. mengkambinghitamkan momentum perjuangan yang tak pernah kembali sebagaimana yang dulu-dulu. Bahkan segelintir orang memungut untung dari kisah-kisah tokoh mahasiswa masa lalu, demi melancarkan reckruitment organisasi yang menjadi kendaraan untuk mengisi kantongnya yang haus akan rupiah dan segudang penghargaan.
PR-PR pergerakan mahasiswa belumlah usai, amanat pe­­rjuangan dan reformasi adalah menciptakan masyarakat yang cerdas, adil, dan makmur.  fenomena kelaparan, kesenjangan, dan penjajahan berkedok perdagangan bebas masih amat sangat subur di negeri kaya raya ini. Negeri yang “katanya” berdasarkan pancasila justru menjadikan kapitalisme dan liberalisme barat sebagai identitasnya hari ini.  Jikalah pancasila yang “katanya” digali dari akar budaya nusantara itu benar-benar diterapkan, maka semestinya tercipta masyarakat yang punya integritas, gotong royong, dan religius karena seperti itulah sesungguhnya akar budaya negeri ini sejak dahulu kala.
Menyadari atau tidak, kini mahasiswa baru saat pertama kali menginjakkan kaki di ranah intelektual kampus, bagaikan seonggok makanan diperebutkan 1001 pihak dari aneka macam ideologi dan kepentingan, digiring dan dijejali doktrin-doktrin yang cenderung ke arah fanatisme kelompok tertentu. Disitulah kemudian terlihat jelas bahwa terjadi trasformasi pergerakan mahasiswa ke arah perpecahan, bukan lagi untuk kepentingan bumi pertiwi.
Kini tantangan berat pergerakan mahasiswa tidak hanya datang dari eksternal, namun justru datang dari internal mahasiswa itu sendiri. Organisasi kemahasiswaan hari ini dilanda krisis indevendensi dan idealisme. Tak jarang ormawa menjadi perpanjangan tangan  partai politik, kepentingan, atau ideologi tertentu. tri dharma perguruan tinggi yang salah satunya adalah “pengabdian masyarakat” menjadi bualan belaka, nilai luhur pergerakan yang mengedepankan persatuan dan semangat bersama nasionalisme telah luntur dan hancur lebur.
Selama belasan tahun belakangan, pergerakan mahasiswa juga seolah kehilangan taring dan arah tujuan. tidak ada lagi karya-karya spektakuler yang dapat dibanggakan, kemudian lahirlah beberapa kalangan pemikiran bahwa bergabung dengan gerakan mahasiswa merupakan hal yang sia-sia saja. Pada akhirnya munculah budaya apatisme, cuekisme, dan hedonisme di kampus-kampus. Pihak-pihak yang coba membangkitkan kembali semangat pergerakan hampir tidak diperdulikan. Forum-forum diskusi kebangsaan dan keagamaan dipandang tidak relevan lagi dengan zaman.
Melihat realita ini, tentu saja, mahasiswa mesti lebih cerdas dan kritis menghadapi dinamika kampus.  jangan hanya “iya iya” saja ketika dicekoki asupan  pemahaman yang dilogikakan semasuk akal mungkin.  Kembalikan lagi pada niat awal perkuliahan, pada tri dharma perguruan tinggi. seorang mahasiswa mempunyai tanggung jawab pada orang tua, masyarakat, negara, dan agamanya. Jangan pernah mengkhianati harapan orang tua yang mengharapkan anaknya menjadi pribadi yang jujur dan bermanfaat bagi keluarga. Jangan mudah terjebak dalam pemahaman keagamaan yang sempit tanpa toleransi, apalagi sekularisme dan komunisme yang merupakan musuh yang pernah menghancurkan tatanan negeri tempo dulu.  Jangan juga melupakan masyarakat yang telah mensubsidi biaya perkuliahan lewat pajak yang dibayarkannya. Singkirkan arogansi yang menumbuhkan benih perpecahan bangsa.
Kedepan, pergerakan mahasiswa mesti lebih elegan, menghindari sebisa mungkin aksi-aksi di ranah fisik yang frontal dan keras. Malu rasanya! bila kini masih terdengar tawuran antar mahasiswa, tauran antar kampus, dan keributan antar ormawa. Sudah saatnya mahasiswa menggunakan intelaktualitasnya, memakai logikanya, dan menjunjung toleransi dalam membidani pergerakan kampus. Bila benar untuk cita-cita Indonesia, maka semestinya setiap pihak rela menanggalkan egoisme masing-masing. Berkolaborasi guna mengahadapi tantangan kompetisi dunia internasional yang lebih berat di masa mendatang, mempersiapkan SDM-SDM handal untuk diterjunkan membela tanah air di era baru internasional.
Selain itu, yang tak boleh dilupakan dalam jantung pergerakan mahasiswa adalah nilai religiusitas.  Sudah jelas dalam  dasar Negara bahwa Indonesia berdasarkan pada “ketuhanan Yang Maha Esa”, jadi tidak benar bila pergerakan harus berkiblat ke barat yang sekuler atau Negara komunis.  Religius bukan berarti memaksakan nilai dari suatu religi tertentu, tapi masing-masing pemeluk agama mesti mekalsanakan nilai-nilai agamanya dengan sesungguhnya. Sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, sejarah mencatat kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu, Budha dan Islam. Dari sejarah kita belajar, untuk bertindak hari ini, demi mimpi di masa depan. Pemuda bukan penyumbang masalah, tapi hadir menjadi solusi. Maju terus Mahasiswa! buktikan generasi saat ini tak kalah menawan dari catatan sejarah masal lalu. J
Oleh Syahid Ismail
Sosiologi 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar