KONSEP KEKUASAAN
DALAM PRESPEKTIF SISTEM POLITIK INDONESIA
Konstelasi Politik dalam Sistem Politik Pemerintahan Demokrasi Terpimpin
TUGAS AKHIR SEMSETER
Mata Kuliah: Sistem Politik Indonesia
Dosen: P. Antonius Sitepu
Disusun Oleh:
Syahid Ismail (NIM: 090901043)

DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Sistem Politik
Sistem politik adalah kumpulan elemen atau unsur yang saling terkait dalam urusan negara yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka suatu sistem politik memiliki unsaur-unsur yang meliputi : a. kumpulan elemen atau unsur, b. saling terkait, c. urusan negara, d. kerjasama, dan e. tujuan bersama
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara.
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.[1]
I.2 Kekuasaan
Kekuasaan (power) adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh[2] atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
”Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri meskipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.”[3]
Dalam pemerintahan, kekuasaan mempunyai makna yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan", akan tetapi "kewenangan" ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat memiliki kewenangan untuk memerintahkan sebuah hukuman mati. [4]
.
. BAB II
KERANGKA KONSEP
II.1 Penelitian Tentang Kekuasaan
Dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, kekuasaan telah dijadikan subjek penelitian dalam berbagai empiris pengaturan, keluarga (kewenangan orangtua), kelompok-kelompok kecil (kewenangan kepemimpinan informal), dalam organisasi seperti sekolah, tentara, industri dan birokrat (birokrasi dalam organisasi pemerintah) dan masyarakat luas atau organisasi inklusif, mulai dari masyarakat yang paling primitif sampai dengan negara, bangsa-bangsa modern atau organisasi (kewenangan politik).
Dari hasil penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, telah banyak penelitian terkait kekuasaan, mulai dari kekuasaan dalam lingkup keluarga[5] hingga kekuasaan dalam lingkup negara. Penelitian-penelitian yang telah ada tersebut diantaranya meneliti tentang resistensi masyarakat terhadap kekuasaan, kekuasaan dalam keluarga, penyimpangan kekuasaan, dan hubungan kekuasaan dengan hal-hal yang bersifat sosial lainnya.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas secara spesifik mengenai konsep kekuasaan pada era demokrasi terpimpin.
II.2 Sistem Politik Indonesia
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.[6]
Indonesia menganut sistem politik demokrasi. sistem politik demokrasi didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah:
1. Ide kedaulatan rakyat
2. Negara berdasarkan atas hukum
3. Bentuk Republik
4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
5. Pemerintahan yang bertanggung jawab
6. Sistem Perwakilan
7. Sistem peemrintahan presidensiil
BAB III
KONSTELASI POLITIK DALAM SISTEM POLITIK PEMERINTAHAN DEMOKRASI TERPIMPIN
III.1 Eksekutif
Soekarno (sebagai eksekutif) sangat mendominasi, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur-unsur politik.
Dekrit presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. UUD 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahann selama sekurang-kurangnyan lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (UUD memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh UUD.
Sebagai presiden, Soekarno dalam menjalankan fungsi dan kekuasaannya pada masa demokrasi terpimpin membuat dan menetapkan berbagai macam kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat menonjol dalam berlangsungnya proses sistem politik Indonesia di tangan rezim Demokrasi Terpimpin.
Djanwar Memaparkan bahwa, presiden Soekarno mengeluarkan surat tertanggal 13 Juli 1959 yang isinya, mengharap agar DPR bekerja terus dalam rangka sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam UUD 45, yang mana surat tersebut ditindak lanjuti oleh DPR dengan mengadakan rapat pleno yang dihadiri 216 anggota DPR, di mana hasil rapat pleno tersebut adalah bahwa DPR bekerja terus sesuai dengan apa yang tersurat dalam dan tersirat dalam UUD 1945.
Berikut adalah karakteristik utama lembaga eksekutif (Soekarno) pada era demokrasi terpimpin:[7]
- Soekarno sangat mendominasi, sejumlah lawan politiknya menjadi lawan politik Soekarno terutama yang berasal dari kalangan Islam dan sosialis. Basic Humain Right menjadi sangat lemah. Soekarno dengan mudah menyingkirkan lawan politiknya yang tidak sesuai dengan kebijaksanaannya atau yang mempunyai keberanian untuk menentangnya.
- Sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Daerah-daerah memiliki otonomi yang sangat terbatas. UU tentang otonomi daera No.1/1957,diganti dengan penetapan presiden, yang kemudian dikembangkan menjadi Undang-Undang No.18 Tahun 1965.
Panji-panji sangat menonjol di tangan seorang presiden sebagai pemusatan kekuasaan. Pemusatan kekuasaan tersebut terlihat dari tindakan-tindakan presiden yang antara lain adalah:[8]
1. Beberapa pejabat lembaga tinggi negara diangkat menjadi menteri, antara lain Jaksa Agung menjadi Menteri/Jaksa Agung.
2. Jabatan Kepala staff gabungan dihapus, panglima angkatan diangkat menjadi menteri sebagai contoh menjadi menteri/ Pangab langsung di bawah presiden/ Pangti.
3. Sewaktu presiden mengajukan RAPBN ditolak DPR, Lembaga Tinggi tersebut dibubarkan. Padahal DPR mempunyai hak/ fungsi control terhadap presiden / Mendataris MPR.
4. Memunculkan dokterin NASAKOM (Nasionalis, Agamis, Komunis) sehingga PKI merajalela, mempengaruhi organisasi-organisasi lain termasuk TNI, Supaya mengikuti dokterin NASAKOM.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa peranan presiden (sebagai lembaga eksekutif) sangat dominan pada masa demokrasi terpimpin. Presiden bahkan melakukan intervensi terhadap parlemen (DPR) dan melakukan penyederhadaan parpol.
III.2 Partai Politik
Dalam Sistem politik demokrasi terpimpin dapat dikatakan bahwa peran partai-partai politik sudah mulai berkurang (lemah). Hal ini disebabkan karena dalam sistem demokrasi terpimpin, pemerintah yang menganut sistem pemerintahan presidensial dimana presiden tidak saja merupakan kepala negara, akan tetapi juga berperan sebagai kepala pemerintahan (eksekutif). Ini berarti semua kebijakan pemerintahan dikendalikan oleh presiden. Eksekutif tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Disamping itu memang sudah sejak lama, Presiden Soekarno tidak menyukai sistem banyak partai seperti yang telah dilaksanakan pada masa Sistem Pemerintahan Parlementer.[9]
Pemerintah melakukan pengaturan terhadap sistem kepartaian di Indonesia pada 1960 degan mempersyaratkan agar semua partai harus menerima pancasila dan UUD 45 sebagai dasar utama ideologinya.
Demokrasi terpimpin merupakan pembalik dari proses politik yang berjalan pada masa demokrasi parlementer. Maka demokrasi terpimpin ditandai dengan mengaburnya sistem kepartaian . kehadiran partai-partai politik, bukan untuk mempersiapkan diri dalam rangka konstestasi politik untuk mengisi jabatan politik di pemerintahan (karena pemilihan umum tidak pernah dilaksanakan), tetapi merupakan elemen penopang dari tarik tambang antara presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa partai-partai politik masih memiliki otonomi dalam proses internalnya, walaupun kemudian dalam perjalanan selanjutnya dibatasi hanya sepuluh partai politik saja. [10]
III.3 Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat)
Dengan terbentuknya DPR-GR, peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi sedemikian lemah. Sebab, DPR-GR kemudian lebih merupakan instrumen politik presiden Soekarno.proses rekrutmen politik untuk lembanga ini pun ditentukan oleh presiden.[11]
Djanwar Memaparkan bahwa, presiden Soekarno mengeluarkan surat tertanggal 13 Juli 1959 yang isinya, mengharap agar DPR bekerja terus dalam rangka sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam UUD 45, yang mana surat tersebut ditindaklanjuti oleh DPR dengan mengadakan rapat pleno yang dihadiri 216 anggota DPR, di mana hasil rapat pleno tersebut adalah bahwa DPR bekerja terus sesuai dengan apa yang tersurat dalam dan tersirat dalam UUD 1945.
Terdapat perselisihan paham antara DPR dan Presiden dalam penyusunan APBN, Kemudian diakhiri dengan tindakan penghentian DPR oleh pemerintah sebagaimana ditetapkan dengan Surat Penetapan Presiden No.3 Tahun 1960, diaman ketua DPR telah meneriman penpres tersebut pada 5 Maret 1960.
Dari uraian paragraph diatas tampak jelas bahwa hak budget DPR tidak dilaksanakan, dalam arti pemerintah tidak mengajukan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran yanag bersangkutan. Bahkan kegiatan DPR peralihan dihentikan karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan pemerintah 1960.
Keputusan presiden No. 155 dan No. 156 oleh presiden ditetapkan penghentian anggota DPR (S) tahun 1959 dan pengangkatan terhadap anggota-anggota baru DPR-GR. Istilah GOTONG-ROYONG yang ditambahkan dibelakang nama DPR adalah untuk menekankan kehendak presiden, bahwa daripada DPR yang sekarang harus menempuh cara kerja yang lain daripada DPR dalam masa demokrasi liberal dan setelahnya.[12]
BAB IV
SIMPULAN
Dari uraian tentang konstelasi politik dalam sistem politik pemerintahan demokrasi terpimpin di atas, penulis dapat mengambil beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Pada masa demokrasi terpimpin, lembaga eksekutif (presiden Soekarno) memiliki peran yang sangat dominan dalam sistem politik saat itu. Presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepalam pemerintahan. Namun demikian, presiden mengeluarkan berbagai kebijakan yang menyimpang dari UUD 45 seperti membubarkan DPR (S) dan menyederhanakan partai politik.
2. Peran partai politik sangat lemah, selain itu semua partai politik harus menerapkan pancasila sebagai dasar ideologinya. Soekarno tidak senang dengan sistem banyak partai sehingga terjadi penyederhanaan partai. Di sisi lain partai hanyalah sebagai symbol karena tidak pernah dilakukan pemilu partai saat itu.
3. Dengan terbentuknya DPR-GR, peranan lembaga legislatif menjadi sedemikian lemah. Sebab, DPR-GR kemudian lebih merupakan instrument politik presiden Soekarno.
[1] Sistem politik. http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_politik (diakses hari Kamis, 9 Desember 2010 pkl 20.00 WIB)
[2] Stanley Milgram, Obedience to authority: an experimental view, Taylor & Francis (1974)ISBN 0-422-74580-4 ISBN 978-0-422-74580-2 dalam Kekuasaan. http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan#Sudut_pandang_kekuasaan (diakses hari Kamis, 9 Desember 2010 pkl 20.15 WIB)
[3] Max Weber, wirtschaft und Gesellchaft (Tubigen, Mohr, 1922) dalam Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
[4] Kekuasaan. http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan#Sudut_pandang_kekuasaan (diakses hari Kamis, 9 Desember 2010 pkl 20.15 WIB)
[5] Misal: Kekuasaan Orang Tua Setelah Terjadi Perceraian (Suatu Penelitian di desa Cukil, Sruwen dan Sugihan, Kecamatan Tengaran Kab, Semarang) dalam http://eprints.undip.ac.id/21003/
[6] Sistem Politik Indonesia. http://kewarganegaraan-rosi.blogspot.com/2009/01/sistem-politik-indonesia.html (diakses hari Jumat, 10 Desember 2010 pkl 08.15 WIB)
[7] P Antonius Sitepu dan Kisah Ruth Siregar. (USU press 2009, hal 51-52)
[8] Lihat Juga di P Antonius Sitepu dan Kisah Ruth Siregar. (USU press 2009, hal 48-49)
[9] P. Antonius Sitepu, “Transformasi Kekuatan-kekuatan Politik dalam Konfigurasi Politik Sistem politik Indonesia “, POLITEA Jurnal Ilmu Politik. Vol.I No.1. Juni 2005. Hla. 38.
[10] Antonius Sitepu dan Kisah Ruth Siregar. “Soekarno, Militer dan Partai Politik” (USU Press 2009, hal. 51)
[11] Antonius Sitepu dan Kisah Ruth Siregar. “Soekarno, Militer dan Partai Politik” (USU Press 2009, hal. 51)
[12] Antonius Sitepu dan Kisah Ruth Siregar. “Soekarno, Militer dan Partai Politik” (USU Press 2009, hal. 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar